Iklan

terkini

Menolak Lupa, Mematri Dokter Soedjono di Sanubari (5-Habis)

Jejak Lombok
Saturday, December 19, 2020, Saturday, December 19, 2020 WIB Last Updated 2021-09-08T02:50:50Z

Wisma Soedjono, Embrio Desa Wisata di Lombok

LEGENDARIS: Wisma Soedjono menjadi penginapan yang legendaris dan penuh nilai historis.

--------------

“Wisma Soedjono di Desa Tete Batu masyhur terdengar sejak belum ditetapkan adanya desa wisata. Dari wisma inilah embrio lahirnya desa wisata di Pulau Lombok.”

FATHUR ROZIQIN — MATARAM

Tangis dan selaksa doa menggema di angkasa. Keduanya berpadu mengabarkan duka. Seorang dokter penuh dedikasi telah pergi untuk selamanya. Dokter Soedjono wafat.

Hari itu, Senin 14 Februari 1944. Kencing manis yang dideritanya telah membuat sosok dokter yang dicintai rakyat ini mengembuskan nafas terakhirnya. 

Pernah sebelum ajal merenggut nyawa sang dokter, sejumlah sejawat menawarkan agar lengan Soedjono diamputasi. Namun tawaran itu ditolak. Soedjono memilih pulang bersama sakit yang dideritanya. Ia berpulang di Tete Batu Kecamatan Sikur Lombok Timur dan disemayamkan di Makam Bintaro, Kecamatan Ampenan Kota Mataram.

Di Tete Batu, Soedjono membangun sebuah rumah yang dihajatkan untuk menghabisi masa pensiun. Di rumah itulah ia menghabiskan hari-harinya dengan bertani.

Dalam catatan yang didokumentasikan Roro Neni Kurnia, Soedjono pensiun di tahun 1925. Selama mendedikasikan diri sebagai dokter, ia sebelumnya menetap di Selong.

Kepindahan Soedjono ke Tete Batu di usia purna tugas tidak lepas dari hobinya bertani. Ia pindah ke desa itu sekitar tahun 1930.

Sejak kepindahannya, masa purna tugas bukan penghalang bagi Soedjono menyudahi dedikasinya. Tak hanya menjadi dokter, Soedjono juga mengajari warga setempat cara bercocok tanam dan bertani yang baik.

Berbekal hubungan pertemanan dengan sejumlah kolega di Bogor, Soedjono sering dikirimkan berbagai jenis bibit unggul yang dapat di tanam. Bibit-bibit itu tak hanya dibagikan kepada penduduk setempat, tapi juga dikembangbiakkan.

Hari-hari panjang yang dilalui sebagai petani rupanya membuat Soedjono betah. Tak heran jika di tempat itu ia membangun rumah cukup megah sebagai pesanggrahan (tempat peristirahatan).

Bangunan berarsitektur Eropa itu ditempati bersama istrinya. Sepeninggal Soedjono, rumah ini belakangan ditempati oleh anak pertama Soedjono, Raden Soeweno.

Kendati Soedjono telah tiada, pasca wafatnya banyak kerabatnya di masa lalu yang ingin menziarahi rumahnya tersebut. Mereka datang dan menginap di rumah tersebut demi mengenang kembali masa-masa yang dilewati bersama sang dokter.

Kerabat yang datang tidak saja dari kalangan Belanda, ada juga dari Jepang. Selain itu, kerabat dari negara lain juga kerap mendatangi tempat itu.

Keturunan Dokter Soedjono yang sadar dengan banyaknya orang yang datang lalu pada tahun 1970an membangun sejumlah kamar penginapan di sekitar pesanggrahan sang dokter. Upaya pengembangan kembali dilakukan sekitar tahun 1980an.

Baca Juga :

Menyusuri Palung Sejarah Masjid Kuno Bayan

5 Jenis Sambal Ini Sangat Legend di Lombok

Filosofi Dibalik Motif dan Warna Kain Tenun Bayan

Sejak saat itulah pensanggrahan sang dokter mulai dikenal dengan Wisma Soedjono. Berbekal sentuhan manajemen yang lebih professional, wisma itu belakangan menjadi tujuan atau destinasi penginapan.

Tercatat, wisma inilah yang pertama berdiri di Tete Batu serta desa-desa sekitarnya sebagai penginapan yang layak disinggahi wisatawan. Setelah itu baru kemudian mengikuti sejumlah penginapan lain turut berdiri.

“Kami semua yang ada di sekitar Desa Tete Batu seperti Jeruk Manis, Kembang Kuning dan Tete Batu Selatan ini belajar mengelola destinasi wisata di Wisma Soedjono,” ungkap Kepala Desa Kembang Kuning, HL Sugian, kepada JEJAK LOMBOK, Sabtu (19/12).

Seperti pemilik hotel Green Orry Inn,  Zohri Rahman misalnya. HL Sugian menyebutnya pernah belajar di Wisma Soedjono sebelum kemudian mendirikan hotel yang dikelolanya sendiri. 

Begitu juga dengan penginapan-penginapan lain di sekitar Tete Batu, Kembang Kuning, dan Jeruk Manis. Nyaris semuanya pernah menimba ilmu di wisma tersebut.

“Setelah bisa bahasa Inggris dan mengerti cara mengelola pariwisata, mereka kemudian berdiri sendiri,” ucapnya.

Saat ini, Wisma Soedjono telah berganti nama menjadi Hotel Soedjono. Hotel inilah disebut-sebut sebagai pelopor terbentuknya desa wisata di sekitar daerah itu.

Bagi Sugian, kepeloporan Dokter Soedjono dalam bidang pariwisata sangat nyata terasa. Sebagai kepala desa yang ditetapkan sebagai desa wisata terbaik nasional baru-baru ini, jasa sang dokter telah mengubah wajah daerah itu menjadi sangat luar biasa.

Sugian mengatakan, saat ini, ada sekitar 25 unit penginapan yang berdiri di Tete Batu dan sekitarnya. Dari jumlah itu, terdapat sekitar 70 kamar yang tersedia.

Imbas dari keberadaan desa wisata di wilayah ini, laju perputaran ekonomi masyarakat sangat signifikan. Satu unit kamar hotel dalam sebulan booking order-nya bisa mencapai Rp 20-an juta.

“Tetapi itu sebelum pandemi virus corona. Kita harap pandemi ini segera berlalu dan perekonomian di sini kembali bangkit,” tegasnya.

Di Desa Kembang Kuning, Tete Batu dan sekitarnya itu, jelasnya, paket wisata yang dijual sangat sederhana. Mulai dari paket pertanian, UMKM hingga jajanan atau kuliner lokal. 

Kendati menjual paket wisata yang sederhana, justru paket ini banyak digemari oleh wisatawan. 

“Andai tidak ada wisma Soedjono, mungkin tidak ada desa wisata di sekitar wilayah ini,” ucapnya. (*)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menolak Lupa, Mematri Dokter Soedjono di Sanubari (5-Habis)

Terkini

Iklan