Iklan

terkini

Menelusuri Jejak Migrasi Ajaran Budha di Lombok

Jejak Lombok
Wednesday, June 24, 2020, Wednesday, June 24, 2020 WIB Last Updated 2021-07-24T17:22:49Z
PUJAWALI: Inilah suasana prosesi ritual Pujawali yang dilaksanakan umat Budha di Ganjar, Lombok Utara.

MATARAM--Penemuan master piece atau karya agung bernama Sanghyang Kamahayanikan sudah tersiar di seantero dunia. Mahakarya sentuhan tangan Mpu Sindok ini ditemukan pada tahun 1900 di Lombok.

Kitab yang memuat tata nilai dan ajaran moral umat Budha ini disusun oleh Mpu Sindok sekitar abad 9 Masehi. Kitab tersebut disusun tepatnya sekitar tahun 929-947 Masehi.

Sanghyang Kamahayanikan merupakan satu dari beberapa mahakarya masa lalu yang ditemukan di Lombok. Selain kitab Mpu Sindok ini, ada juga Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Kitab ini seolah menjadi pintu masuk menelusuri jejak migrasi dan penyebaran agama Budha di pulau ini.

Terbaru, tersiar kabar jika Sutasoma milik Mpu Tantular juga ditemukan di Lombok pula. Hanya saja, soal penemuan terakhir ini masih belum memiliki bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sanghyang Kamahayanikan milik Mpu Sindok konon berisi ajaran moral untuk mencapai Kebudhaan. Kitab ini ditulis penuh metafora oleh pemiliknya.

Terhadap penemuan-penemuan mahakarya masa lalu ini, Budayawan Lombok, Lalu Satriawangsa mengatakan, Pulau Lombok adalah museum peradaban hidup di nusantara. Banyak jejak masa lalu yang hingga kini masih ditemukan bertahan.

Jejak masa lalu, tuturnya, tidak saja berupa kitab-kitab kuno. Bahkan tradisi dan kebudayaan berbagai daerah di nusantara bisa ditemukan di Lombok.

"Tradisi bekayat (baca hikayat) dari Melayu misalnya. Tradisi ini masih bisa kita temukan, padahal di tempat asalnya di Sumatera mungkin sudah tidak ada lagi," ucapnya kepada Jejak Lombok beberapa waktu lalu.
Demikian pula dengan aksara Sasak (suku di Pulau Lombok) yang disebutnya merupakan transformasi huruf Jawi. Jika aksara Jawa kuno terdiri dari 20 jenis, maka di Sasak hanya terdiri dari 18 aksara. Jumlah ini sama persis dengan aksara Bali.

Tak hanya itu, dalam tradisi oral masyarakat Sasak pun masih ditemukan Pembayun. Biasanya Pembayun akan tampil dihadapan publik dalam acara pernikahan.

"Kalau disimak bahasa yang digunakan oleh Pembayun, itu merupakan bahasa Jawi," sambungnya.

Bagi Satriawangsa, ditemukannya jejak masa lalu berupa kitab dan kebudayaan di Lombok, tidak lain karena Pulau Seribu Masjid ini dianggap memiliki energi pemelihara. Di lain sisi, Pulau Lombok dinilai sebagai terminal peradaban antara Timur dan Barat di nusantara.

Dikatakan memiliki energi pemelihara lantaran secara geografis Pulau Lombok berada di tengah-tengah pulau lain di nusantara. Besar kemungkinan, keberadaan kitab-kitab dan kebudayaan yang ada di Lombok tidak lain karena bekas migrasi --tepatnya pelarian-- ketika terjadi kemelut antara kerajaan-kerajaan masa lalu di nusantara.

Khusus penemuan mahakarya seperti Sanghyang Kamahayanikan dan Negarakertagama, diduga tidak lepas dari kemelut yang terjadi di tanah Jawa pada abad 15. Dimana kala itu kekuatan Majapahit digeser oleh kekuatan baru bernama Islam.
Seiring pergeseran kekuatan itu, kalangan rohaniawan dan arya di Majapahit mencari perlindungan dan melarikan diri ke timur. Mereka ke Bali dan berakhir di Lombok.

"Kemungkinan beriringan dengan itu pula sebagai pintu masuk Hindu dan Budha bersama kitab-kitab tersebut," terangnya.

Apa yang disampaikan Satriawangsa ini sedikit berbeda dengan Romo Metawadi. Tokoh umat Budha asal Kabupaten Lombok Utara (KLU) menyebutkan, jejak masuknya Budha di Lombok tidak lepas dari tugas kedinasan (ekspansi) yang dipimpin langsung Gajah Mada sebagai panglima Majapahit kala itu.

Dalam tugas kedinasannya itu ia menyertakan para rohaniawan untuk mengajarkan agama Budha.

"Soal jejak migrasi ini kami temukan di dua lontar yang kami miliki. Salah satunya ada di Lontar Tembaga," sebutnya.

Di dalam Lontar Tembaga itu bercerita tentang migrasi umat Budha yang diawali dengan tugas kedinasan Patih Gajah Mada. Migrasi ini disebutnya terjadi pasca Kerajaan Mataram Kuno tumbang di abad 15.

Kendati menceritakan ihwal mula jejak migrasi, Metawadi secara spesifik menyebut Budha berkembang di Lombok setelah sebelumnya dibawa Danghyang Nirarta atau bisa juga disebut Danghyang Dwi Jendra. Sosok yang konon dipanggil oleh masyarakat Lombok sebagai Tuan Semeru inilah yang mengajarkan agama Budha.

"Tapi agama Budha yang diajarkan tidak sama dengan agama Budha yang berkembang sekarang di Lombok. Ajaran beliau biasa dikenal dengan Budha Paksa," ulasnya.
Budha yang berkembang saat ini, lanjutnya telah mencapai metamorfosa sempurna. Ajaran Budha yang ada saat ini seperti yang diajarkan Budha Gautama denga kitab suci Tripitaka. Ajaran Budha inilah yang berkembang di Thailand dan Myanmar serta negara-negara berpenduduk mayoritas Budha lainnya.

Budha Paksa, terangnya, merupakan ajaran Budha yang memiliki pertautan dengan agama Hindu. Namun ajaran Budha Paksa ini telah ditinggalkan oleh warga Budha yang ada di Lombok saat ini.

Khusus soal Danghyang Dwi Jendra, dari berbagai sumber menyebutkan, ia merupakan salah satu rohaniawan yang ikut bermigrasi di masa runtuhnya Majapahit. Ia bersama rohaniawan dan arya yang lain yang tak sudi memeluk Islam menyingkir bersama rombongan.

Rombongan para rohaniawan dan Arya ini konon melewati jalur Daha (Kediri), Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi dan berakhir di Bali. Di Bali, Danghyang Dwi Jendra sempat menebar ajarannya dan membangun sejumlah pura.

Peristiwa migrasi ini terjadi sekitar 1422-1489 Masehi. Kala itu Bali dibawah kekuasaan Dalem Waturenggong. Bersamaan dengan itu, Lombok dikuasai Sri Krahengan yang beribukota di Cakranegara.

Ihwal kedatangan Danghyang Dwi Jendra ini tidak lepas dari jasa para pelaut Lombok. Para pelaut inilah yang membawa Dwi Jendra dan mendarat di Malimbu.

Selepas dari Malimbu, Dwi Jendra melakukan perjalanan ke Batulayar dan Batu Bolong. Ia bahkan sempat menjejakkan kaki di Labuhan Haji sebelum akhirnya bertolak menyeberang ke Pulau Sumbawa.

Selama masa berada di Lombok, Dwi Jendra menyebarkan ilmunya. Sosok yang dianggap memiliki kemampuan supranatural ini mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Lombok kala itu.

"Itulah awal mula bagaimana penyebaran agama Budha di Lombok," ucap Metawadi.

Sementara itu, tokoh Budha lainnya, Sudirsah Sujanto tidak banyak berbicara tentang jejak migrasi masa lalu. Ia lebih banyak berbicara tentang penyebaran Budha dalam sejarah kekinian.

"Saya tidak tahu tentang sejarah masa lalu itu. Kami ini Budha sejak lahir. Yang kami tahu bahwa kami orang Sasak yang beragama Budha," ucapnya.
Dalam pendekatan kekinian, Sudirsah justru bercerita tentang penyebaran Budha yang berada di pelosok dan pegunungan. Baik itu umat Budha yang ada di Lombok Barat maupun di Lombok Utara.

Beberapa tempat yang kini menjadi diaspora atau domisili umat Buddha seperti di Ganjar, Tendaun, Mareje Lombok Barat. Sementara di Lombok Utara ada di Gangga, Pemenang, Bayan dan beberapa tempat lain.

Penyebaran agama Budha yang cenderung berada di pelosok ini disebutnya tidak lepas dari jasa seorang polisi bernama Komang Gede. Sosok ini merupakan seorang polisi yang bertugas di satuan Brimob.

"Karena polisi kan sering turun ke masyarakat. Pak Komang Gede inilah yang mengajarkan masyarakat tentang agama Budha," tegasnya.

Dalam agama Budha, lanjutnya, ada beberapa tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Umat Budha di Tendaun maupun di Lombok Utara masih melaksanakan prosesi adat istiadat Pujawali. Biasanya prosesi Pujawali dilaksanakan di Gangga, Lombok Utara.

Biasanya tradisi Pujawali dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali. Pujawali pertama bernama Nunas Kaya dan dilaksanakan sebelum bercocok tanam.

"Tujuannya memohon kepada pencipta agar hasil berlimpah," ucapnya.

Sementara Pujawali kedua bernama Muka Balik. Prosesi ini dilaksanakan pada saat musim panen sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan. (jl)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menelusuri Jejak Migrasi Ajaran Budha di Lombok

Terkini

Iklan