Iklan

terkini

SELEBUNG BATU BELEK – WAH KEDUNG YAK TE KEMBEK

Jejak Lombok
Friday, August 28, 2020, Friday, August 28, 2020 WIB Last Updated 2020-08-28T03:30:44Z
Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd

(Falsifikasi dan Koreksi Pemaknaan Sebuah Adagium yang Memicu Penyimpangan Perilaku Pada Masyarakat Sasak)

ADALAH Hajjah Nur Asiyah Jamil yang mempopulerkan adagium “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.” Dia sukses mempopulerkannya secara massif lewat sebuah album nasyid yang sempat hit di era 70 hingga 80-an. Bagi generasi di era tersebut, adagium ini menjadi sesuatu yang diterima (received) sebagai al-ilm al-hudury. Oleh sebab itu, mereka tidak memiliki ruang untuk melibatkan  kerja akal dalam membedahnya. Ujung-ujungnya, pemahaman mereka cenderung keliru atau tak luput dari peluang miss-understanding. 

Tidak hanya miss-understanding, namun cukup banyak mereka yang gagal memosisikan adagium ini sebagai esensi dalam ‘amar: “gigitlah ajaran ini sekuat geraham-mu menggigit daging!” Bukti kuat yang menjadi protective belt hipotesis di atas adalah al-ilm al-hudury atau knowledge by presence dalam format adagium ini hanya bermain di area moral code dan tidak banyak yang mempu mendinamisasi di ruang applied ethic, apalagi di tataran metaetik. Akibatnya banyak yang abai dan terperangkap dalam kekeliruan, bahkan keterlanjuran tersekap di jalan sesat, hingga jatuh ke titik nadir. Sementara, tidak setiap orang atau mereka dapat dengan mudah menapaki jalur pendakian untuk kembali ke puncak tertinggi di mana ia berada sebelumnya. Akhirnya tidak sedikit yang memilih pasrah dan bergayut pada adagium yang senafas, yaitu: “apa hendak dikata kalau nasi telah menjadi bubur.”

Fenomena sikap pasrah di atas tentu saja riskan. Sangat mungkin fenomena tersebut memicu gangguan ataupun penyakit mental, bahkan tidak menutup peluang terjadinya kematian akibat bunuh diri.  Bagaimana tidak, penyesalan yang luar biasa berpotensi menjadi pupuk penyubur rasa berdosa. Bagaimana tidak, penyesalan yang ekstrem akan menjadi penggusur kemampuan hidup bersama yang berujung pada sikap mengisolasi diri dan terpasung oleh perasaan terbuang.

Fenomena dan peristiwa yang dipandang riskan di atas tidak boleh berlanjut. Satu-satunya cara menekan fenomena dan peristiwa tersebut adalah dengan membangun kesadaran bahwa hal yang telah terjadi merupakan sebuah proses. Niscaya dijalani dengan sabar, ikhlas, kuat, cerdas. dan jangan pernah lupa untuk melapangkan keyakinan bahwa dalam proses itu wajib ada keterlibatan Yang Maha Akbar.

Group musik Pop HIVI dalam sebuah lagunya “ bangkit” memompa ghiroh dengan sya’ir: “Sadarlah! Yang terjadi dalam hidupmu, tak selalu semudah itu. Tidak selalu berjalan mengikuti keinginanmu. Jangan putus asa dulu, karena pelaut hebat tak pernah lahir dari laut yang tenang.  Hai kawan, teruslah berjuang. Kita semua boleh jatuh, tapi harus bangkit dan bangun kembali. Jangan engkau berlari dari semua masalah yang ada. Cobalah engkau hadapi dengan senyuman, hati, dan juga pikiran yang teduh.”

Sistem nilai-nilai yang diurai di atas sesungguhnya menegaskan bahwa manusia semestinya berhati-hati dalam mengusung hubungan entailment. Artinya, setiap orang harus arif dan bijaksana dalam menarik sebuah simpulan dari kata, frase, atau pernyataan, terutama jika dilekatkan dengan pergumulan kehidupan nyata. Hal ini untuk memastikan bahwa dalam kehidupan sosial yang bersifat dinamis tidak serta-merta seseorang dapat menyatakan “Jika A benar maka B juga benar atau sebalaiknya”. Contoh riil dalam konteks ini adalah tidak bisa secara otomatis kita berkesimpulan bahwa “Jika pepatah atau adagium sudah sedemikian jelas maka sikap kita pun mesti linier seperti esensi adagium tesebut.”

Tidak berbeda dengan pandangan dan sikap kita terhadap “sesenggak” atau pepatah Sasak yang menyatakan: “Selebung Batu Belek, Wah Kedung Yak Te Kembek.” Bila dialih-bahasakan dalam Bahasa Indonesia, pepatah ini berbunyi: “ Mau bilang apa, jika sudah terlanjur.” Sedangkan dalam bahasa Indonesia, pepatah Sasak ini sepadan dengan adagium “ Apa hendak dikata kalaulah nasi telah menjadi bubur,” atau senafas pula dengan adagium “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.”

Kalau kita cermati secara seksama, pepatah Sasak ini terdiri atas dua bagian, yaitu “Wah Kedung” dan “Yak Te Kembek.” Sebagaimana memilahnya, kedua bagian pepatah ini harus diperhatikan secara teliti dalam menginterpretasikannya. Artinya, dalam usaha menghadirkan esensi pepatah ini, kita membutuhkan proses pengkajian, analisis, dan atau pembedahan, dengan piranti yang tepat. Tanpa pengkajian yang cermat, pepatah ini hanya akan menghadirkan makna penyesalan semata. Tanpa analisa dengan metodologi yang tepat, pepatah ini hanya akan menghadirkan makna yang menegaskan bahwa sebuah situasi mengalami kejumudan dan tak berpeluang samasekali untuk restorasi. Tanpa proses pembedahan dengan pisau analisis yang tepat, pepatah ini hanya akan menghadirkan makna yang mengilustrasikan bahwa sebuah situasi adalah akhir dari segalanya. Tidak ada ruang taubat, islah, restorasi, apalagi melampaui keadaan normal sebelumnya.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa tindakan sosial masyarakat sasak menyahuti sesenggak “Selebung Batu Belek, Wah Kedung Yak Te Kembek,” cenderung narrow minded. Kebanyakan masyarakat sasak di era yang lalu menganggap sesenggak ini sebagai sesuatu yang harus dibela dengan berdarah-darah atau antara hidup dan mati (ultimate concern). Dengan demikian tidak ditemukan adanya kesalahan (falsification) sesenggak tersebut.  Effect negative yang hadir kemudian adalah kepasrahan yang sesat dengan ciri nihilisasi ruang kreatifitas untuk tindakan islah

Fenomena dan fakta-fakta yang beresiko tinggi akibat pemaknaan sesenggak dengan cara yang kaku di atas masih cekup massif terjadi. Dalam perspektif verstehen, tindakan sosial yang sedemikian rupa ini berawal dari ketak-hadiran makna yang komprehensif dari sesenggak itu sebagai akibat metode pencarian yang kurang memadai. Jika diselisik dengan serius maka akan ditemukan bahwa selama ini masyaakat Sasak mencari pemaknaan sesenggak tersebut dengan telaah teks atau analisis konten. Beberapa pakar menyebut metode ini dengan istilah metode bayani. Metode ini sesungguhnya fokus pada: 1). i’tibar (penjelasan qiyas, fiqhy, nahwu), 2). al-I’tiqod meliputi penjelasan makna baik-buruk dan diseterusnya, 3). al-ibarah yang meliputi penjelasan makna zahir-bathin, serta 4). al-kitab yaitu tentang penjelasan sumber yang dipakai untuk menukil.

Para ahli berpendapat bahwa metode bayani dengan aspek-aspeknya di atas memiliki beberapa tradisi, di antaranya adalah: 1).  Menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak atau tidak ada ruang perdebatan, 2). Metode bayani tidak melibatkan historitas teks sebagai bagian dari yang diteliti, dan 3). Analisis teks dengan metode bayani tidak dilengkapi dengan konteks, apalagi correspondence (persesuaian).

Adalah sebuah kelaziman jika makna yang dihadirkan cenderung dogmatis apabila kita korelasikan dengan beberapa tradisi metode bayani yang digunakan menyingkap makna sesenggak atau pepatah di atas. Generalisasi ini mengisyaratkan bahwa untuk tidak memunculkan kekakuan, baik dalam makna atau implementasi, pepatah tersebut harus diselisik nilai-nilai ajarannya menggunakan metode yang lebih memadai, selain dengan metode sebelumnya. Misalnya saja dengan metaethics yang meliputi sebuah kerangka kerja research atau metode burhani.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama dibidang humaniora, khususnya linguistic, termasuk dalam Bahasa Sasak, tuntutan untuk membedah persoalan-persoalan kebahasaan dengan menggunakan metode yang memadai mulai terpenuhi. Misal saja, penelitian tentang dialek dalam Bahasa Sasak, seperti: ngeno-ngene, meno-mene, nggeto-nggete, dan meriak-merikuk, sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang langka dan asing. Demikian pula dengan aspek kebahasaan lainnya, semuanya mudah diakses di lembaga-lembaga bahasa, baik di kampus-kampus perguruan tinggi atau pusat kajian bahasa di lingkungan Depdikbud dan yang dikelola oleh lembaga swasta.

Sementara itu, terhadap sesenggak yang kita bahas dalam artikel ini, belum ada research atau penelitian yang membahasnya secara husus. Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini akan berusaha membahas dengan menggiring pemikiran mengikuti alur kerja research maupun metode burhani, atau setidak-tidaknya dengan kerangka pemikiran yang kritis dalam menemukan esensi nilai yang terkandung dalam pepatah “Selebung Batu Belek, Wah Kedung Yak Te Kembek.” Inilah strategi yang kita butuhkan jika kita ingin terbebas dari sikap narrow minded yang tentu sangat kaku dalam menyahuti sesengak di atas, baik dalam pemaknaan atau pelaksanaan ajarannya.

Sebagaimana uraian di atas, pepatah ini telah dibagi menjadi dua dan menurut hemat penulis kedua bagian ini tidak parsial. Bagian yang satu menjadi penentu sekaligus pengukuhan bagi yang lain. Bagian Wah Kedung bermakna terlanjur terjadi. Keterlanjuran, baik dalam teks maupun konteks ini berlangsung karena keterbatasan seseorang atau sebuah komunitas. Keterbatasan di sini dapat diartikan sebagai ketidak-sengajaan, ketidak-tahuan, bandel (keras kepala dan tidak berkenan atas sebuah saran), serta di luar jangkauan kemanusiaan. Keterbatasan sebagaimana beberapa arti yang diuraikan sebelumnya, tentu sangat manusiawi. Setiap peristiwa atau tindakan yang manusiawi adalah kelaziman. Ketika kelaziman terjadi, maka manusia tentu wajib maklum secara seksama. Artinya ada ruang maaf, berjanji untuk menjadi baik kembali, dan atau islah, jika kelaziman itu adalah kesalahan.

Yak Te Kembek sebagai bagian penentu dalam sesenggak ini bisa jadi merupakan sebuah pertanyaan retoris dan dapat pula merupakan kalimat pernyataan yang berarti penegasan bagian lainnya. Sebagai pertanyaan retoris, maka kalimat ini berarti bahwa Wah Kedung yang berarti keterlanjuran harus disikapi positif. Bentuk sikap positip yang dituntut antara lain: ikhlas mengakui keslahan, segera mohon maaf dan bertaubat, dan yang lebih penting lagi menjadikan kesalahan dalam keterlanjuran tersebut sebagai titik balik untuk melakukan lompatan hingga mencapai area normal, bahkan melebihi batas-batas normal yang telah dicapai sebelum kesalahan dalam keterlanjuran tersebut terjadi.

Semangat makna kritis pepatah “Selebung Batu Belek, Wah Kedung Yak Te Kembek” senada dengan Firman Alloh dalam QS. Ali Imran Ayat 135-136 yang menegaskan: “ Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, lalu mengingat Alloh seraya memohon ampun atas dosa-dosanya, maka ia akan mendapatkan pengampunan. Demikian pula apabila setelah itu mereka tidak mengulngi kesalahan karena telah memiliki pengetahuanm maka Alloh akan memberikan ampunan serta memasukkan mereka ke dalam surga,  yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Itulah sebaik-baik ganjaran orang-orang bertaubat atau beramal saleh. Wallohua'lamu.   

*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • SELEBUNG BATU BELEK – WAH KEDUNG YAK TE KEMBEK

Terkini

Iklan