Iklan

terkini

PATIRATA

Jejak Lombok
Wednesday, June 24, 2020, Wednesday, June 24, 2020 WIB Last Updated 2020-06-23T19:06:28Z
Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd
(Alat Kelengkapan Sistem Ketahanan Keamanan Desa Orang Sasak Tempo Dulu )


TANPA kecuali, biota takkan pernah rela mati sia-sia. Kalau tidak mungkin menang, setidak-tidaknya biota berjibaku menyelamatkan diri. It’s amazing, sebelum betul-betul kalah, mereka tak akan menyerah. Bila terancam bahaya, naluri putri malu memberi isyarat agar daunnya melayu. Anjing yang terkepung, akan menerjang garang. Loligo si cumi-cumi akan segera menembakkan senjata biologi “black ink” ketika predator lapar hendak melumatnya. Cecak memutus ekor untuk mengecoh lawan-lawannya. Bunglon si detective dengan jurus penyamaran andalannya, akan mengubah warna kulit untuk bertahan dari serangan para pemburu. Demikian pula manusia, dengan keunggulan akalnya, ia akan berusaha memenuhi safety needs untuk mempertahankan jenis.

Fenomena penyelamatan diri seluruh biota dari buruan pemangsa, merupakan sebuah sinema yang mempertontonkan arti penting kehidupan dan benarnya keberadaan ancaman yang bisa datang kapan saja. Bukan hanya itu, tetapi juga merupakan cara Alloh SWT mengambarkan tentang Maha Karya-Nya. Tak ada yang sia-sia, termasuk bagian-bagian perangkat self depend mechanism dari suatu biota. Alloh dalam Q.S. Ali Imran Ayat 190-191 menegaskan: “  Sungguh di dalam penciptaan langit dan bumi, dalam perbedaan malam dan siang, terdapat hikmah bagi mereka yang arif dan cerdik. Mereka adalah hamba yang pada saat berdiri, duduk, dan berbaring, senantiasa berfikir tentang cuptaan-Ku, baik di langit atau bumi”. Dan setelah itu mereka bersaksi dengan lantang, “Wahai Tuhan kami, Engkau menciptakan semua ini tidak sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari siksa api neraka”. 

Bil-khusus bagi mahkuk terseksi di dunia, menundukkan ancaman untuk menghadirkan keamanan adalah kebutuhan dasar. Perasaan nyaman akan berubah tiba-tiba menjadi galau bila ancaman mengintai. Makanan yang nikmat akan terasa hambar. Kursi jabatan yang tegak akan terasa bergoyang mengikuti tabuhan perkusi yang tak bernada. Tidur tak nyenyak, mimpi pun gelisah. Keamanan yang rapuh ternyata meruntuhkan bangunan kenikmatan yang utuh. Ternyata, menghadirkan keamanan ini tidak hanya berlaku untuk manusia kebanyakan, makhluk sekelas nabi pun bermohon penuh harap agar keamanan dilimpahkan untuk diri dan ummatnya. Hal ini diperkuat dengan permohonan nabi Ibahim, sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al_Baqarah Ayat 126, “ Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini sebagai tempat yang aman sentausa dan berikanlah rizki berupa buah-buahan bagi penduduknya yang beriman kepada Alloh dan hari kemudian.

Maka demikianlah, mahkluk terseksi manusia, baik secara kasus-perkasus atau bersama-sama dalam suatu lingkungan pemukimannya, akan berusaha membangun supra dan impra struktur yang memberikan penjaminan terpeliharanya keamanan lahiriyah dan batiniyah.  Upaya manusia ini ternyata menjadi “global Truth”. Buktinya Proyek Milenial Perserikatan Bangsa-Bangsa menyahuti dengan merumuskan konsepsi keamanan lingkungan sebagai acuan pemberian rasa aman bagi manusia di seluruh Negara, bahkan lingkungan. Rumusan keamanan menurut Proyek Milenial Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah kelayakan lingkungan bagi makhluk hidup dengan mencegah kerusakan lingkungan akibat perang, konflik, dan perlindungan linkungan dari hal-hal yang akan menimbulkan dekadensi moral.

Jauh sebelum Proyek Milenial Perserikatan Bangsa-Bangsa menyahuti kebutuhan manusia akan rasa aman (safety needs) di lingkungan tempat tinggal mereka, Orang Sasak pada pertengahan abad 19 telah meresponnya dengan sebuah program pengangkatan perangkat system ketahanan keamanan desa. Pengangkatan perangkat keamanan ini bersifat Self subsistent (swadaya), bukan program “top down” yang disubsidi oleh struktur di atas pemerintah desa. Perangkat ketahanan keamanan tersebut diberi nama “PATIRATA”.

“PATIRATA” meupakan istilah yang secara etimologi berasal dari kata dalam Bahasa Sanskerta. Kata “PATIRATA” ini telah mengalami perubahan bentuk bunyi bahasa type modifikasi konsonan. “PATIRATA”, berasal dari dua kata, yaitu Patih dan Raga. Setelah mengalami modifikasi konsonan dalam bentuk bunyi Bahasa Daerah Sasak, kata Patih menjadi Pati dan Raga menjadi Rata. Patih atau pati tidak mengalami perubahan arti. Demikian pula Raga atau rata. Pati berarti wakil atau utusan. Sedangkan Rata artinya semua kaula atau masyarakat yang ada di sebuah desa atau mukim. Patirata secara utuh diartikan sebagai salah-satu perangkat atau alat kelengkapan pemerintah desa dibidang keamanan yang dijabat oleh seorang anggota masyarakat dengan bekal jawara olah kanuragan (bela diri), kemuliaan akhlak, kecerdikan, dan charisma yang mengesankan.

Patirata secara fungsional adalah perangkat keamanan pada sebagian desa-desa pemukiman Orang Sasak. Model pengangkatan Patirata adalah penunjukan oleh kepala desa setelah mempertimbangkan usul masyarakat atau kaula. Profil tokoh yang diajukan kaula sebagai patirata adalah unsur kaula (masyarakat) yang memiliki kedigdayaan, akhlak mulia, dan kecerdasan, serta kharismatik. Sebelum penunjukan, biasanya kepala desa meminta kesanggupan orang yang diusulkan kaula. Setelah terdapat kesepahaman, barulah Patirata dimandatkan oleh kepala desa atas nama kaula di orong (wilayah) tertentu.

Sebagai perangkat keamanan desa, Patirata bertugas untuk: Pertama, menertibkan masyarakat di orong (wilayah) di mana ia ditugaskan. Kedua, mengamankan pelaksanaan ibadah, perniagaan, dan lain-lain. Ketiga: mengamankan lingkungan dari para pencuri, begal, rampok, perjudian, dan perkelahian masyarakat. Tugas-tugas ini dilaksanakan setiap hari selama masa tugasnya. Patirata dapat diganti bila meninggal dunia, mengundurkan diri karena alasan lanjut usia, sakit, dan diberhentikan, baik dengan hormat atau tidak hormat. 

Galibnya, Patirata biasanya berepok (bermukim) di orong (wilayah) batas desa. Dia diberi sebidang tanah, baik untuk keperluan lahan berladang, bertani, dan sebagai tempat membangun repok (pondok). Setiap Patirata tidak diberikan sangu. Mereka mendapat bahan makanan pokok, seperti beras, ubi, jagung, daging, ikan, atau jenis lauk lainnya dari hasil ladang dan sawah pada lahan yang telah diberikan oleh pemerintah desa. Para Patirata hanya mendapat bantuan lauk-pauk sesekali atau dalam keadaan tertentu saja.

Menjalankan tugas dan fungsi sebagai Patirata bukan hal mudah. Sangat beresiko, bahkan nyawa dipertaruhkan. Bayangkan saja, ketika Patirata menghalau para maling, begal, atau perampok. Patirata tidak sembarang harus melakukan mesiat (body contac). Patirata dalam keadaan tersebut menggunakan protocol pengamanan atau semacam tertib-tapsila (aturan). Misalnya, jika melihat maling, begal, atau perampok, pertama kali yang dilakukan Patirata adalah memberi tanda bahwa dia masih bangun. Maksud pemberian tanda ini agar maling, begal, atau perampok mengurungkan niatnya memasuki wilayah desa untuk melaksanakan aksinya. Jika tidak mengindahkan penanda yang diberi, Patirata mendekat untuk memberikan tausiyah agar maling, begal, atau perampok mengurungkan niat jahat mereka. Bila dengan cara yang kedua ini tidak mempan, barulah Patirata mesiat (body contac) sebagai langkah terakhir.

Patirata biasanya mesiat (body contac)  tidak menggunakan senjata. Cukup dengan ilmu kanuragan tangan kosong. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pembunuhan dalam mesiat (body contac) melawan maling, begal, atau perampok. Jika harus melengkapi diri dengan senjata karena alasan terdesak atau untuk mempertahankan diri, para Patirata cukup menggunkan sebuah tongkat kayu atau pelocok (alat pelembut sirih). Sebagaimana kisah Balok Petimah seorang Patirata Desa Pancor Orong Baret Koko’.  Karena alasan harus mengambil jalan mesiat (body contac) dan menghadapi cukup banyak maling, akhirnya dia menggunakan plocoknya untuk sekedar mencungkil mata lawan-lawannya dan tidak sampai membunuh. Setelah beberapa maling menjadi korban, mesiat terhenti dan kawanan maling yang selamat membawa pulang teman-temannya.

Tugas-tugas yang sedemkian berat tidak menjadi alasan Patirata untuk mengeluh. Sukses mereka pun kadang-kadang tidak diketahui masyarakat dan kepala desa secara resmi. Yang teramati hanya desa aman terkendali. Inilah alat kelengkapan system keamanan desa Orang Sasak tempo dulu yang mantap betul (mantul). Kalau saja direfleksi dalam bentuk alat kelengkapan keamanan modern saat ini, tentu akan menghadirkan rasa aman bahkan lebih dari yang pernah kita impikan. Wallohu’alamu.    

*Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW. Dosen IAIH NW Pancor, dan Tenaga pendidik Di SMA NW Pancor.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • PATIRATA

Terkini

Iklan