Iklan

terkini

Babad Suwung, Angkara Tuhan dan Lenyapnya Peradaban Lombok

Jejak Lombok
Monday, June 15, 2020, Monday, June 15, 2020 WIB Last Updated 2020-08-14T18:30:00Z
BABAD SUWUNG: Babad Suwung (kedua dari kiri) masih tersimpan rapi menjadi koleksi Museum Negeri NTB.

MATARAM--Melacak peradaban awal di Pulau Lombok cukup sulit. Tidak ada pakem sejarah "valid" yang bisa dijadikan rujukan sebagai referensi utama.

Kisah-kisah masa lalu tentang peradaban di Pulau Lombok sejauh ini sebagian besar tersaji dalam takepan babad masa lalu. Kisah-kisah itu ditemui dalam Babad Suwung, Babad Lombok serta beberapa babad lainnnya.

Dari banyak babad yang ada, Babad Suwung adalah yang tertua. Babad inilah yang mengisahkan ihwal mula adanya kehidupan di Pulau Seribu Masjid ini.

Ditahbiskannya Babad Suwung merujuk pada nama babad tersebut. Suwung dalam bahasa Sasak (suku di Pulau Lombok) berarti kosong. Kekosongan ini mendeskripsikan bagaimana Pulau Lombok tanpa penghuni sebelum datangnya Batara Indra dan Dewi Sinta sebagai nenek moyang orang Sasak.

Konon, Batara Indra dan Dewi Sinta merupakan sepasang suami istri dari tumpangan kapal Nabi Nuh. Pasutri ini mendarat di sekitar Pelabuhan Carik, Bayan, Lombok Utara.

Dari pernikahan pasangan inilah kemudian dikaruniai 22 pasang anak kembar. Beberapa di antara mereka adalah Amaq Rare Selaparang (Dewa Mraje Selaparang), Nyake, Sugian, Salut, Balun, Bayan, Sokong, Santuntun serta beberapa yang lain.
"Dari 44 anaknya ini diperintah menikahi kembarannya oleh Batara Indra," ungkap Budayawan Lombok, Lalu Nafsiah, Senin (15/6), saat dikunjungi di kediamannya oleh Jejak Lombok.

Usai menikahi kembaran masing-masing, jelasnya, semua anak-anaknya diperintah mendirikan perkampungan. Mereka disebar di segala penjuru Pulau Lombok. Perkampungan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya kerajaan-kerajaan di Lombok.

Bayan misalnya. Ia disuruh pergi ke Bayan mendirikan perkampungan. Dari proses pernikahan bersama kembarannya, Bayan memiliki sekitar 100 keturunan (pengikut). Demikian halnya dengan Amaq Bayangan. Ia diminta mendirikan kerajaan di Gunung Sasak, Kuripan.

Begitu juga dengan Tapen yang mendirikan Kerajaan Pejanggik dan Sugian yang mendirikan Kerajaan Langko.

Sebagai yang tertua, Dewa Mraje Selaparang merupakan pimpinan tertinggi dari kerajaan-kerajaan yang didirikan adik-adiknya. Ketertundukan semua kerajaan yang ada, tidak lepas dari pesan Batara Indra dan Dewi Sinta sebagai orang tua mereka.

"Itulah ihwal mula munculnya peradaban di Pulau Lombok," ungkap pria yang karib disapa Mamiq Nafsiah ini.

Terlepas dari benar tidaknya soal kisah itu, lanjutnya, ada pesan moral yang harus dipetik dari kehidupan peradaban awal tersebut. Perkawinan sedarah (incest) tidak dibenarkan oleh norma agama.

Masih dalam babad itu, karena perkawinan sedarah ini pula yang membuat angkara Tuhan turun terhadap anak cucu Batara Indra tersebut. Puncak kemarahan Tuhan yakni dengan diletuskannya Gunung Samalas (Gunung Rinjani). Letusan itu kontan merontokkan peradaban kala itu.

Amarah Tuhan lewak letusan Salamas ini rupanya hanya menyisakan sedikit kehidupan. Ada beberap anak Batara Indra yang masih hidup. Diantaranya seperti Amaq Tapen (Harya Temanggung), Amaq Bantun dan Mumbul serta saudara-saudaranya yang lain.

Menyadari perilaku perkawinan sedarah tidak sesuai dengan norma agama, Amaq Tapen dan Bantun memerintahkan adiknya Mumbul. Keduanya memerintahkan Mumbul agar menghentikan perkawinan sedarah.

Sebelum titah kedua kakaknya diterima, konon Amaq Tapen dan Bantun didatangi Jibril lewat mimpi. Di dalam mimpi, kedua kakak Mumbul itu diperintah menghentikan perkawinan sedarah.

"Itulah ikhtisar yang terangkum dalam Babad Suwung," jelas pria kelahiran 1960 asal Padamara, Lombok Timur ini.

Pria yang kini berdomisili di Jalan Irigasi III No. 17 Ampenan ini menuturkan, Babad Suwung mengandung pesan moral yang luar biasa. Jauh sebelum peradaban di Lombok sangat massif, tata norma dan etika sudah diajarkan.

Generasi hari ini, sebutnya, hendaknya menghindari perzinahan dan perkawinan sedarah. Pesan ini penting jika tidak ingin melihat angkara Tuhan kembali ditimpakan kepada manusia.

Lewat penuturan Mamiq Nafsiah pula diketahui bahwa Babad Suwung berumur ratusan tahun. Manuskrip babad ini masih tersimpan rapi di Museum Provinsi NTB.

Ia memperkirakan, babad ini sudah ada sejak abad 15-16 Masehi. Ini diketahui lantaran pendahuluan dalam babad itu bertuliskan lafaz Bismillah. Alasan ini cukup diterima mengingat sebelum abad 15-16 Masehi, kehidupan masa itu masih dihuni oleh agama sebelum Islam.

Mamiq Nafsiah merupakan salah satu aset budayawan yang dimiliki Museum NTB. Ia tercatat menjadi satu-satunya yang bisa membaca lontar dan takepan dari babad-babad masa lalu.

Sejak pensiun dari tempat tugasnya, pengganti pria 60 tahun ini masih belum ada. Hingga saat ini, belum ada penggantinya yang memiliki kemampuan serupa di Museum NTB. (jl)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Babad Suwung, Angkara Tuhan dan Lenyapnya Peradaban Lombok

Terkini

Iklan