Iklan

terkini

Menolak Lupa, Mematri Dokter Soedjono di Sanubari (2)

Jejak Lombok
Wednesday, December 16, 2020, Wednesday, December 16, 2020 WIB Last Updated 2020-12-16T15:46:40Z

Dirikan Rumah Miskin, Menjadi Dokter Pertama di Lombok

BUKTI DEDIKASI: RSUD dr. R. Soedjono menjadi bukti dedikasi pengabdian R. Soedjono terhadap warga Lombok Timur.

---------------

“Soedjono tidak sendiri ditugaskan di Lombok. Ia berangkat bersama seorang teman dokter lainnya. Namun karena ketulusan dan dedikasinya, hanya Soedjono yang melekat di sanubari masyarakat Lombok hingga kini.”

FATHUR ROZIQIN — MATARAM

Wabah lepra, kusta, cacar dan kolera sepertinya menjadi momok buruk di awal abad ke 20. Wabah ini begitu cepat menyebar menyerang warga Lombok sekitar tahun 1910.

Penyebaran wabah yang begitu cepat ini dapat dimaklumi. Kala itu, belum ada satupun dokter. Hanya dukun belian tradisional yang menjadi tumpuan medis.

Pemerintah Hindia Belanda yang risau dengan serangan wabah ini segera saja mengirim dua dokter. Kedua dokter itu adalah R Soedjono dan Raden Mulyono. Keduanya ditempatkan di Lombok Timur. 

“Saat itu Selong sebagai ibukota Lombok Timur masih berupa hutan belantara. Ibukota Lombok Timur di Sisik, Labuan Haji,” ungkap Raden Rahadian kepada JEJAK LOMBOK, belum lama ini.

Raden Rahadian sendiri merupakan cucu R Soedjono dari putera keduanya, R Soewetomo. Saat ini, Rahadian dipercaya mengemban amanat sebagai wakil rakyat di DPRD NTB.

Berada di pusaran penyakit menular, langkah pertama yang diambil Soedjono memberantas wabah itu dengan mendirikan sebuah klinik. Di tempat inilah para penderita cacar dan penyakit menular lainnya diisolasi.

Jumlah penderita yang mencapai ribuan rupanya tak mampu ditampung klinik yang kapasitasnya minimalis dan terbatas itu. Praktis, Soedjono mau tak mau harus pula melakukan pencacaran terhadap warga lainnya.

“Klinik pertama yang dibangun oleh kakek saya itu lokasinya di Sepolong Labuan Haji. Bangunan itu sampai sekarang masih bisa ditemukan,” tuturnya.

Tak cukup dengan klinik itu, Soedjono juga mendirikan Rumah Miskin. Di tempat inilah Soedjono menjalani praktik membantu warga.

Selama praktik di Rumah Miskin, Soedjono tak menarik sepersen pun biaya kepada masyarakat yang datang berobat. Semua layanan medis yang diberikan seratus persen gratis.

Rumah Miskin yang didirikan Soedjono ini berada persis di seberang jalan bagian selatan Kantor DPR Lombok Timur. Rumah tersebut menjadi saksi betapa Soedjono melewati hari-harinya penuh dedikasi.

Berbeda dengan Soedjono, Raden Mulyono justru tidak terdengar kabarnya. Tak heran, karena totalitas pengabdiannya, hanya nama Soedjono yang membekas di sanubari masyarakat Lombok Timur.

Di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter, kegemaran yang dilakukan Soedjono setiap hari adalah berkeliling kampung. Ia mengendarai bendi miliknya dan menyapa warga yang ditemui.

“Kadang ia juga mampir di rumah warga dan sahabat-sahabatnya. Ia mampir kalau ada warga yang sakit dan butuh pengobatan,” sambungnya.

Setelah mendirikan Rumah Miskin, kemasyhuran dokter kelahiran Kebumen, Jawa Tengah ini kian dikenal. Seantero Lombok Timur mendengar budi baik sang dokter. Buntutnya, semakin banyak pula warga yang datang berobat meminta jasanya.

Raden Rahadian

Lantaran Rumah Miskin tak menyediakan tempat rawat inap, praktis pasien yang kondisinya akut tak bisa terlayani. Dari itu  Soedjono berpikir mendirikan layanan kesehatan dengan kapasitas lebih memadai.

“Maka didirikanlah rumah sakit yang kini menjadi RSUD dr. R. Soedjono Selong itu,” jelasnya.

Awal mula dibangun rumah sakit ini kira-kira hanya memiliki 10 tempat tidur pasien. Model layanan yang diberikan setara Puskesmas saat ini. Rumah sakit itu diberi nama Rumah sakit dr. R. Soedjono. Nama itu diambil dari namanya sendiri.

Di rumah sakit ini, terangnya, segala keperluan medis, seperti obat dan peralatan disuplai langsung Pemerintah Hindia Belanda. Rumah sakit ini dibangun saat Selong tengah beranjak menjadi pemukiman baru.

Sedianya, Lombok bukan lah daerah pertama tempat Soedjono bertugas. Sebelum menjejakkan kaki di Lombok, ia sempat ditugaskan di Bali dalam misi “Bali Expeditie II”. Misi yang diemban di Pulau Dewata ini juga sama dengan di Lombok, memberantas cacar dan penyakit menular.

Soedjono baru mendaratkan kakinya di Lombok pada tahun 1910. Namun selama berada di daerah ini, rupanya pemerintah Belanda dibuat kerepotan. Segala gerak-gerik Soedjono terus diawasi. Ia dicurigai menggalang kekuatan politik melawan pemerintahan kala itu.

Kecurigaan Belanda waktu itu sangat beralasan. Rumah Soedjono selalu ramai dikunjungi warga. Mereka yang datang bukan saja untuk berobat, kadang ada juga yang datang sekedar menonton pembacaan lontar dan kesenian lain yang digelar di rumahnya.

Buntut ulahnya, pemerintah Belanda yang tak mau pusing rupanya melempar Soedjono bertugas di tempat baru. Ia ditugaskan di Magetan, Jawa Timur, sekitar tahun 1917.

Namun karena di tempat tugas barunya, Soedjono yang ulung bersosial dan bergaul dengan mudah mengambil hati masyarakat. Ia dengan mudah berkumpul dan membaur bersama masyarakat sekitarnya. 

Ulah Soedjono di tempat baru rupanya juga membuat pemerintah Belanda pusing. Lantaran itu, ia dikembalikan ke tempat tugas sebelumnya, Lombok. Sejak saat itu, Soedjono memastikan diri menetap dan hidup bersama masyarakat Lombok Timur. (*)

Bersambung…

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menolak Lupa, Mematri Dokter Soedjono di Sanubari (2)

Terkini

Iklan