Iklan

terkini

Berwisata Sejarah? Coba Kunjungi Pesanggrahan Timba Nuh

Jejak Lombok
Sunday, November 22, 2020, Sunday, November 22, 2020 WIB Last Updated 2020-11-22T04:13:56Z

BANGUNAN TUA: Inilah bangunan tua peninggalan Belanda di Desa Timba Nuh Kecamatan Pringgasela Lombok Timur.

SELONG
--Jejak kolonialisme tak dapat ditolak menjadi bagian sejarah masa lalu di Pulau Lombok. Jejak kehadirannya masih bisa ditemukan dalam sejumlah bukti berupa bangunan dan peninggalan lainnnya.

Dalam catatan sejarah Lombok, Belanda pertama kali menjejakkan kakinya di pulau Seribu Masjid pada tanggal 5 Juli 1894. Invasi Negeri Kincir Angin ini di pimpinan Jendral Vetter dan Residen Dannenbargh. 

Upaya penaklukan yang dilakukan Belanda tidak mulus. Perlawanan sengit para milisi lokal membuat mereka kewalahan.

Pada invasi pertama dengan serdadu yang didatangkan itu rupanya tak cukup membuat orang Lombok bertekuk. Alih-alih menyerah, serdadu Belanda dipukul mundur di tahun yang sama.

Sadar dengan kekuatan milisi lokal yang begitu militan, Belanda mendatangkan bala bantuan. Mereka datang dalam jumlah kavaleri pasukan yang lebih besar.

Baru pada tahun 1898 Lombok di pecah menjadi tiga bagian daerah administratif. Yakni Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Kondisi itu rupanya membuat penjajah semakin kuat menguasai Lombok.

Invasi itu sudah ratusan tahun berlalu. Namun bukti kehadiran ras kulit putih di tanah Lombok masih bisa ditemui.

Salah satu buktinya yakni sebuah rumah peninggalan Belanda di ujung Utara di kaki gunumg Rinjani. Peninggalan itu tepatnya di Dusun Pesanggrahan, Desa Timbanuh, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur.

Rumah peninggalan itu merupakan salah satu bekas benteng pertahanan kolonial Belanda pada waktu itu.

"Rumah ini didirikan oleh Belanda tahun 1932," ujar Pengelola Rumah Peninggalan Belanda, Taufiqurrohman Nayadi, saat ditemui JEJAK LOMBOK di sela kesibukannya, Sabtu (20/11).

Menurut ceritaa masyarakat yang berkembang, jelasnya, pasukan Belanda datang dari arah barat. Kendati masyarakat mengetahui keberadaan penjajah, tapi tak memberikan perlawanan apapun.

Bangunan rumah Pesanggrahan ini berdiri di atas tanah seluas 9 are itu. Sejak didirikan, suasana bangunan itu sangat eksklusif. Tak satu pun warga pribumi yang dapat masuk maupun hanya sekedar mendekati bangunan tersebut.

"Menurut cerita orang tua disini, pasukan Belanda tidak terlalu akrab dengan masyarakat setempat," ujarnya.

Sepuluh tahun berselang, tepatnya tahun 1942 Jepang datang membredel pasukan Belanda. Perlawanan tentara Jepang rupanya membuat kocar Kadir Belanda dan membuat mereka berlari menyebar turun bukit, salah satunya ke Tete Batu.

Oleh masyarakat setempat, pimpinan Jepang dikenal dengan nama Tuan Kumiya. Pemimpin pasukan negara Matahari Terbit itu, sedikit ramah dengan penjajah sebelumnya.

Namun Jepang pun tak bertahan lama lantaran 1945 Indonesia resmi merdeka. Barulah tempat itu dapat dimasuki oleh masyarakat setempat.

"Beda perlakuan Jepang dan Belanda. Jepang menurut cerita di sini lebih ramah," ucapnya

Rumah peninggalan itu, lanjut pria 22 tahun itu akan dijadikan sebagai wisata edukasi. Sebab banyak pelajar atau pun mahasiswa yang datang meski untuk sekedar berkemah. 

Letaknya yang berada di ketinggian, disebutnya membuat tempat itu banyak dinikmati oleh pengujung. Ini karena di lokasi itu menawarkan pemadangan yang cukup eksotis.

Terlebih di tempat ini tak hanya didapati bangunan rumah. Namun ada juga kolam renang besar yang telah dibangun pada saat zaman belanda. 

Di sekitar bangunan ini dikelilingi taman yang indah. Belum lagi ada juga tumbuh 7 pohon cherry tua. Suasana ini menambah kekhasan tempat itu.

"Seharusnya tahun ini kita sudah mulai beroperasi namun tekendala Covid," ujar pria yang akrab dipanggil Opik itu.

Opik menuturkan, selain peninggalan berbentuk rumah, juga ada yang lainnya seperti keris, samurai, bedil, foto-foto dan lain sebagainya. 

Namun peninggalan itu, ujarnya, telah diamankan oleh Pemerintah Daerah (Pemda), pada saat Ali Bin Dachlan menjabat bupati pada periode pertama. 

Bukan hanya mengamankan beberapa peninggalan. Namun juga merubah ketinggian tembok bangunan dan cat temboknya.

"Warnanya dulu merah, tapi dirubah menjadi warna kantoran," ucapnya

Selain itu, bebernya, pada masa kepemimpinan Ali Bin Dahlan tempat ini sering ditempati. Bupati Lotim dua oriode itu menempati bangunan tersebut untuk sekedar melepas lelah dari bisingnya kota.

Tempat itu, saat ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Lombok Timur. Belakangan juga dijadikan wisata edukasi.

Nantinya, di lokasi ini ia akan menambah berapa spot foto, untuk mempercantik tempat itu. Dan membuat reflika kapal Nabi Nuh, di dekat tembok pembatas.

Tapi bagi yang berminat camping ground di tempat itu dipersilahkannya. Pihak pengelola sudah menyiapkan alat perkemahan.

"Sangat murah kami hitung Rp 10 ribu per orang. Jika full service sekitar Rp 250 saja. Tapi malam Jum'at kami liburkan untuk semua aktivitas di tempat itu," uajrnya. (sy/hs)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Berwisata Sejarah? Coba Kunjungi Pesanggrahan Timba Nuh

Terkini

Iklan