Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
(Effect Sosiologis “ Perilaku Ingkar Janji” Dalam Kehidupan Masyarakat Sasak)
“Bukti Bukan Janji.” Adalah yel-yel yang nyaris seperti puisi wajib bagi para politisi dalam kontestasi pesta demokrasi. Terdengar nyaring lagi garing. Sayangnya, yel-yel tersebut lebih cenderung berujung kosong melompong.
Namun demikian, yel-yel ini bukannya melayang hilang, tetapi datang berulang. Tentu saja kedatangan kembali yel-yel tersebut disambut dengan tumbuhnya sikap bargaining position di kalangan constituent. Mereka “ngeyel” dengan yel-yel. “Suara kami suara Tuhan.” Yel-yel ini kemudian memaksa politisi membayar down payment (dp) kepada konstituen. Apakah ini sebuah penanda terbangunnya kematangan berpolitik atau justeru tumbangnya sikap mutual trust (saling percaya)? Apapun namanya, yang pasti fakta ini menggelinding tanpa tanda-tanda jenuh yang pasti.
Dalam tradisi nusantara, “Bukti Bukan Janji” berhadapan dengan ungkapan “Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Secara filosofis, dua ungkapan ini sesungguhnya berdialog dalam atmosphere yang ekstra dinamis. ”Laksana pemantik, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” menelanjangi ungkapan “Bukti Bukan Janji.” Dalam posisi dipantik, “Bukti Bukan Janji,” berusaha membuktikan diri sebagai komitmen yang kuat. Dalam perspektif sosiologis – politis, kedua nalar di atas seolah seperti hubungan kekuasaan dan oposisi. Keduanya tiada henti saling koreksi, bahkan sampai memicu aksi-aksi yang memerlukan mediasi.
Mediasi tak semudah imajinasi. Kedua nalar di atas cenderung defensif dan memilih pola absolutely absolute dalam memandang keyakinan atau kebenarannya. Nalar-nalar ini sulit menerima kebenaran selain yang mereka yakini sebagai sesuatu yang benar. Demi kepentingan mengagungkan kebenaran masing-masing, keduanya berusaha mencari dan mengajukan novum untuk meyakinkan juri sekaligus kompetitornya. Keadaan ini terus bersiklus sampai kemudian masing-masing nalar memiliki follower atau konstituen yang mengkondisikan mereka semakin solid. Situsi ini adalah hal menantang bagi usaha mediasi atau negoisasi.
Efek dialog dinamis yang berlangsung di panggung kontestasi, khususnya antara komitmen dan pemantiknya sebagaiamana uraian di atas, sungguhlah mencolok. Baik penjamin komitmen (nalar “Bukti Bukan Janji”) maupun pemantik (nalar “Tong Kosong Nyaring Bunyinya), cenderung transaksional dan mementingkan indikator fomal–material dalam transaksi mereka. Penjamin komitmen mementingkan dukungan atau support. Sementara pemantik memerlukan realisasi komitmen sembelum memberi support atau dukungan. Benar-benar transaksional yang dibangun di atas mutual distrust, kalau tidak boleh disebut sebagai sinema inhumanisasi.
Transaksi-transaksi yang ditumbuhi sanksi betul-betul terjadi. Contohnya sedehana dan di depan mata. Ketika Iwan Fals mensupport Jokowi, ia malah harap-harap cemas. Sikap sanksi Iwan Fals dapat dipahami dari syair lagu yang dilabeling dengan cap Nawacita. Syair itu menyebutkan: “Janji-janji sudah kita telan, jadi obat kuat masa depan. Ada sembilan janji yang sangat terkenal. Apakah ini janji surga atau janji kompeni. Temanku bilang nawacita namanya, agar Indonesia sejahtera, disegani dunia juga menggetarkan yang di surga. Dari kenaikan gaji sampai ke soal pendidikan, dari sektor informal sampai ke yang formal. Dari yang keliatan sampai yang enggak keliatan, sudah dijentrengkan. Hanya memang perlu waktu semoga kita sabar menunggu, semoga janjimu bukan janji palsu. Janji Jokowi semoga terbukti, janji Jokowi sungguh dinanti. Desa dari ujung tombaknya, dapat dana Rp 1,4 miliar per tahunnya. Membagi satu juta rupiah bagi keluarga prasejahtera per bulan. Kalau pertumbuhan di atas 7 persen katanya. Empat setengah juta kepala keluarga akan mendapatkan program kepemilikan tanah. Pembangunan dan perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah. Membangun 25 bendungan, bank untuk petani, UMKM, dan penguatan Bulog. Membuat satu juta hektare lahan baru di luar jawa. 5 ribu pasar tradisional diperbaiki. Bangun pusat pelelangan dan pengolahan ikan. 10 juta rupiah per tahun untuk UMKM dan koperasi. Mendorong, memperkuat, mempromosikan, industri kreatif dan digital. Lalu Kartu Indonesia Sehat, agar kita sehat. Membangun puskesmas dengan fasilitas yang baik. Meningkatkan mutu pendidikan umum dan pesantren. Dan kesejahteraan guru-gurunya. dengan kartu indonesia pintar. Tentu saaja agar kita semua pintar.
Akhir kata agar semua janji ini terwujud dengan benar. Janji Jokowi, bukan janji sembarang janji, janji Jokowi, janji presiden RI. Janji Jokowi bagi ibu pertiwi, janji Jokowi semoga bukan janji kompeni.”
Uraian dan contoh sikap sanksi sebagai akibat siklus dialog nalar “Bukti Bukan Janji” dengan “Tong Kosong Nyaring Bunyinya,” sebetulnya tidak menggiring kita untuk berwacana tentang “janji-janji politik para politisi.” Uraian dan contoh di atas hanyalah pintu masuk ke area yang lebih luas, karena nalar “Bukti Bukan Janji” dengan “Tong Kosong Nyaring Bunyinya,” berdialog dinamis tidak hanya di panggung politik, tetapi juga disetiap ruang dan segmen kehidupan manusia, termasuk dalam keseharian masyarakat Sasak sejak dahulu sampai era kekinian.
Dalam nalar masyarakat Sasak, “Bukti Bukan Janji” setara dengan “Tetu-Tetu Regen.” Sementara itu, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” sepadan dengan “Blek Gerompang.” Sebagaimana nalar “Bukti Bukan Janji” dan Tong Kosong Nyaring Bunyinya,” nalar “Tetu-Tetu Regen” dengan “Blek Gerompang,” senantiasa bedialog ekstra dinamis dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sasak. Dialog ekstra dinamis kedua nalar itu secara bersamaan membidani efek yang kuat hingga lahir, tumbuh, dan hadir menjadi aspek-aspek strategis, terutama dalam mediasi maupun negoisasi.
Pada beberapa klik atau kelompok-kelompok masyarakat Sasak, nalar “Tetu-Tetu Regen” ini kerap kali ditaukitkan (dikukuhkan) dengan sumpah dan bai’at. Artinya, nalar “Tetu-Tetu Regen” bukanlah janji biasa. Nalar ini lebih pada janji yang mengandung nilai pertanggung-jawaban kepada Alloh SWT. Oleh sebab itu, di kalangan masyarakat Sasak, ingkar janji akan menjerat seseorang dalam pasungan sanksi social yang sulit mendapat pengampunan. Salah satu sanksi sosial bagi orang yang khianat (ingkar janji) di lingkungan masyarakat Sasak adalah dengan memberikan orang tersebut jejalek atau sebutan “Blek Gerompang.”
Sebutan “Blek Gerompang” ini setara dengan sebutan radio sede (radio rusak), belek bicak atau luek raos (banyak bicara/besar omong), embol baut biwih, basak biwih (terlalu mudah memberi janji), dan lain-lain. Semua sebutan ini memiliki arti yang sama dengan pembohong atau dalam bahasa agama setara dengan khianat (pengkhianat), “Blek Gerompang” sendiri merupakan sebutan buruk dengan makna sindiran yang sangat dalam, terutama secara sosiologis.
“Blek Gerompang” yang diartikan setara dengan pembohong atau khianat (pengkhianat), mengubur secara perlahan masa depan para pelakunya. Para pembohong atau pengkhianat, akan dipandang sebelah mata. Mereka kehilangan modal kepercayaan. Tidak sedikit orang-orang disekitarnya menjauhi atau mengebirinya. Persoalannya adalah, “Lalu dengan siapa mereka hidup bersama? Mungkin saja ada, tetapi tentu dengan komunitas yang belum tahu identitas cap khianat atau bohongnya. Dengan demikian para penyandang jejalek “Blek Gerompang” telah kehilangan peluang menata kehidupannya untuk mewujudkan kehidupan gemilangnya di masa depan.
Efek atau risiko sosiologis yang diterima pelaku “Blek Gerompang” , baik di dunia global, regional, maupun secara khusus di lingkungan masyarakat Sasak, ternyata telah dijelaskan dalam sumber hokum absolute, yaitu firman Alloh Taala, tepatnya pada QS, al-Rad ayat 25 yang menyebutkan: “ Dan sesungguhnya orang-orang yang melanggar perjanjian, teutama perjanjiaan-Ku setelah diikrarkan dengan teguh dan mengabaikan perintah-Ku, serta membuat kerusakan di bumi, pasti akan Aku kutuk dan Kutempatkan pada tempat yang amat buruk atau neraka Jahannam.”
Dalam QS, ali Imran ayat 77 Alloh berfiman: “Sesungguhnya orang-orang yang memperjual-belikan janji Alloh dan sumpah-sumpah mereka dengan begitu gampang, tidak akan mendapat tempat yang nyaman di akhirat. Alloh tidak akan menjawab permintaan dan memperhatikan mereka pada hari kiamat. Mereka pun tidak akan Ku-sucikan dan bagi mereka hanya siksa yang pedih.
Ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa pelaku “Blek Gerompang” atau para pembohong hanya berpeluang mendapat tempat yang buruk dan siksa yang pedih. Penegasan Alloh ini tentu terkait dengan kehidupan yang bersangkutan di dunia maupun di akhirat. Argumentasinya adalah kehidupan buruk dan siksa pedih di akhirat adalah buah dari keburukan seseorang dalam kehidupannya di dunia.
Kehidupan para pelaku “Blek Gerompang” yang buruk di dunia sangatlah wajar dan meyakinkan. Alasan kuatnya adalah karena mereka telah diperkenalkan oleh Rasulullo SAW dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dimuat dalam HR. Muslim, pada Kitabul Iman Bab Khishalul Munafiq No 107, sebagai seorang munafik. Sememtara orang-orang munafik yang tidak amanah dan selalu berkhianat akan teraliensi atau terasing sehingga mengakibatkan dirinya sulit membangun kehidupan yang sejahtera di dunia. Sedangkan hukuman orang-orang munafik dalam perspektif agama menururt HR Tirmizu adalah akan terjepit oleh himpitan bumi dalam alam barzah dan akan mendapat siksa hebat di alam akhirat. Na’uzubillah.
Betapa dahsyatnya konsekuensi dan efek bohong, khianat, atau “Blek Gerompang,” baik efek sosiologis di dunia maupun akibat buruk dan menyakitkan di akhirat, maka seyogyanyalah kita segera menjauhi sifat dan sikap “Blek Gerompang” tersebut. Lebih lagi jika kita amati di lapangan, sikap “Blek Gerompang” selalu menghancurkan persaudaraan, bahkan bisa menimbulkan peperangan yang menelan korban, not only material but also nyawa yang sangat berharga. Moga ulasan sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan kita semua, khusisnya generasi muda Indonesia harapan masa depan agama, bangsa dan Negara. Wallohu’alamu.
* Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMAN 2 Selong.