Iklan

terkini

Kopi Sajang, Kopi Tertua Sejak Kolonialisme

Jejak Lombok
Thursday, June 4, 2020, Thursday, June 04, 2020 WIB Last Updated 2020-06-10T06:42:55Z


PETANI KOPI: Petani kopi di Desa Sajang tengah merawat bibir kopi yang akan ditanam.

SELONG--Riwayat kopi Sajang sebagai komoditas pasar sudah dikenal sejak dulu. Eksistensinya di pasar kopi nusantara tidak bisa dibilang belia. Sejarah kopi Sajang sebagai salah satu pilihan minuman recomnended tidak muncul dalam waktu yang singkat.

Kopi ini terlahir dari babakan sejarah yang jauh sebelum kemerdekan Indonesia diproklamasikan. Perkebunan kopi di Sajang oleh para petani setempat sudah mengawalinya sebelum komoditas lain seperti bawang putih Sembalun tersohor.

Konon dari penuturan mulut ke mulut, kopi Sajang ini berusia paling tua dibanding kopi-kopi lain yang ada di Pulau Lombok. Kabarnya, dari Sajang inilah kopi yang ada di Pulau Lombok berinduk dan dikembangbiakan.

Bahkan, kopi Sembalun yang menjadi tetangga terdekat Desa Sajang dinilai melirik komoditas ini belakangan. Meski dalam perjalanannya, kopi Sembalun juga tak kalah tersohor cita rasanya.

Sajang dan Sembalun secara administratif masuk dalam satu kecamatan, yakni Kecamatan Sembalun. Di Sajang dengan kontur daerah yang lebih rendah, lebih banyak mengembangkan jenis kopi robusta. Sementara Sembalun yang berada di dataran yang lebih tinggi tersohor karena kopi arabika yang dimilikinya.
Pegiat sekaligus pelaku usaha kopi Sajang, Hajrul Hazmi mengatakan, ada perbedaan mencolok antara kopi Sajang dengan kopi Sembalun. Perbedaannya terletak pada acidity (keasaman). Kopi Sembalun dinilai memiliki tingkat keasaman lebih tinggi dibanding kopi Sajang.

Dari tekstur fisik biji kopi di dua desa ini juga berbeda. Perbedaannya terutama pada ketebalan biji. Kopi Sajang lebih tebal dibanding biji kopi Sembalun,” ucapnya kepada Warta Rinjani, belum lama ini.

Demi menegaskan eksistensi kopi Sajang, Hazmi menyebut, untuk penggemar trek Gunung Rinjani jalur Sajang, para pendaki akan dengan mudah menemukan pohon kopi di sekitar hutan yang ada. Pohon-pohon kopi tersebut ditanam secara rapi.

Rata-rata, pohon kopi yang ada di dalam hutan disebutnya ditanam jauh sebelum kemerdekaan. Tak heran jika ukuran diameter pohon-pohon kopi yang ada cukup besar.

“Tidak mungkin kan kopi hidup sendiri di gunung kalau bukan ditanam,” ucapnya. 
Meski begitu, jelasnya, sedikit saja yang tahu akan sejarah kopi di Sajang. Sejarah inipun tragisnya tidak terlacak pula oleh para petani kopi di desa itu.

Hazmi yang menekuni bisnis kopi dengan brand Kupi Tujak ini mengaku mengambil segmen pasar kopi robusta. Segmen ini diambil lantaran selisih harga dengan jenis kopi arabika jauh lebih murah.

Hazmi yang kini dipercaya sebagai Sekretaris Asosiasi Kopi NTB ini menceritakan, akibat perbedaan keasaman kopi Sajang dan Sembalun sangat berpengaruh terhadap cita rasa.

Untuk mendapatakan rasa kopi luar biasa dari jenis kopi Sajang dan Sembalun, jelasnya, ada cara atau treatment khusus. Agar bisa mengetahui cita rasa yang dimiliki kedua jenis kopi ini, para penikmat kopi hendaknya tidak mencampurnya dengan gula.

“Kalau mau merasakan sensasi rasa yang luar bisa terhadap kopi Sajang dan Sembalun sebaiknya tidak dicampur gula,” ucapnya.

Sebenarnya, terangnya, di Sajang sendiri tidak melulu para petani membudidayakan kopi arobusta. Beberapa yang lain juga banyak membudidayakan jenis arabika.

Seiring perjalanan waktu, penikmat kopi semakin populer dengan semakin berkembangnya pariwisata. Para petani kopi yang ada di Sajang dan Sembalun disebutnya sangat sadar akan hal itu.

Tak heran jika belakangan para petani kopi kemudian mengolah kopi yang mereka miliki seselektif mungkin. Mulai dari pemilahan biji, proses sangrai sampai dengan pengemasan.

“Khusus untuk pengemasan, harus dikemas semillenial mungkin dengan mengikuti keinginan pasar,” tegasnya.

Hanya saja, sebelum musibah gempa menngguncang Pulau Lombok, dimana Sembalun menjadi episentrum getaran membuat para petani kopi di sana terganggu dari sisi produksi. Belakangan, pasca gempa para petani kembali bangkit menggeluti usaha yang telah dirintis sebelumnya.

Sementara itu, Kepala Desa Sajang, H Kanahan mengatakan, ia bersyukur dengan peningkatan penghasilan petani kopi di Sajang. Menurutnya, kopi hasil petani diminati juga oleh wisatawan luar. 

Hebatnya lagi, para petani pernah mengekspor meski dalam jumlah yang sedikit.  “Namun untuk di desa belum kita bisa menjanjikan apa-apa, lantaran banyaknya kelompok petani,” tandasnya. (jl)

*Sumber tulisan wartarinjani.net
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kopi Sajang, Kopi Tertua Sejak Kolonialisme

Terkini

Iklan