Iklan

terkini

Menjadikan Perempuan Agen Perdamaian

Jejak Lombok
Thursday, October 22, 2020, Thursday, October 22, 2020 WIB Last Updated 2020-10-22T02:39:16Z

TESTIMONI: Tumini (kiri) kala bercerita bagaimana ia bisa selamat dari kepungan maut yang menewaskan puluhan orang dalam kasus Bom Bali.

MATARAM
--Ancaman radikalisme rupanya membuat negara harus benar-benar awas. Terlebih pola sebar paham ini sudah bermetamorfosis dengan beragam cara.

Ketua Forum Komunikasi dan Pencegahan Terorisme (FKPT) NTB, HL Syafi'i mengatakan, metamorfosa yang dilakukan faham radikal ini benar-benar menjadi atensi. Penyebaran faham kekerasan serta indoktrinasi tidak saja dilakukan secara tatap muka.

"Hebatnya faham ini sudah bisa menggempur pertahanan kita sampai ke bilik rumah tangga. Ia menyebar lewat gawai internet dan media sosial," ungkapnya, Rabu (21/10).

Karena metamorfosa macam itu, terangnya, sangat dibutuhkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga ya.g membimbing anak-anaknya. Bimbingan itu bisa dalam bentuk pengawasan terhadap konten-konten yang patut disajikan terhadap anak.

Menjadi catatan, ungkapnya, NTB merupakan mata rantai jaringan terorisme di tanah airl. Ini dibuktikan setiap kali ada peristiwa pengeboman di tanah air, nyaris para pelakunya ada saja yang dikaitkan berasal dari NTB.

Beberapa jaringan yang sempat membonceng nama NTB misalnya seperti kehadiran Jamaah Ansori Tauhid (JAT) dan yang lainnya. Dengan posisi itu, warga NTB hendaknya selalu lebih awas terhadap faham tersebut.

Keberadaann radikalisme dan terorisme, jelasnya, menjadi ancaman nyata bagi negara. Kerap kali dalam faham yang disebar menyebut pemerintah dan aparat kepolisian sebagai thogut (setan) yang harus dimusuhi.

Apa ya g dilontarkannya disebutnya bukan isapan jempol semata. Dalam 3 tahun terakhir saja, negara sudah melakukan lima kali penangkapan terhadap aksi dan faham radikalisme ini.

Ia juga menunjuk bagaimana salah satu pesantren di Bima yang disebut sebagai jaringan terorisme Poso. Di pesantren tersebut sama sekali tidak mengaku Indonesia sebagai sebuah negara sah.

Akan halnya di Sumbawa Barat. Salah satu pesantren di kabupaten itu terang-terangan tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Pesantren ini diduga berafiliasi faham dan cenderung menginginkan negara khilafah.

Senada disampaikan akademi UIN Mataram, Atun Wardatun. Pola pengawasan dan bimbingan terhadap anak disebutnya sangat penting diperhatikan. Ini karena faham radikal telah merangsek masuk sampai ke dalam rumah tangga.

"Karena itulah dibutuhkan kenapa ibu-ibu atau perempuan menjadi agen perdamaian," ucapnya.

Menyadari bahaya radikalisme ini, Atun sendiri telah menggalang gerakan yang dinamakan La Rimpu ( Sekolah Rintisan Perempuan). Gerakan ini melibatkan ibu rumah ta gga dan para milenial.

Dalam gerakan yang dilakukan, jelasnya, lebih menekankan pada kekuatan kearifan nilai-nilai lokalitas. 

"Sangat banyak nilai dan kearifan lokal yang bisa kita jadikan tameng dari serangan radikalisme ini. Nilai tersebut bisa menjadi benteng untuk mencegah orang-orang disekitar kita terjerumus dari paparan faham radikalisme tersebut," ucapnya.

Sebagai contoh, ia menunjuk bagaima kehidupan sosial di masa lalu. Tak jarang tetangga di kiri-kanan rumah sering memarahi anak-anak jika dilihat melakukan hal-hal di luar kewajaran.

Pola.intwraksi sosial seperti itu, jelasnya, sudah jarang terjadi. Kondisi ini bahkan tidak ditemukan pada masyarakat perkotaan.

"Kalau tetangga kita dulu marahi anak kita, tandanya mereka aware, mereka peduli. Tapi kalau sekarang, kalau tetangga marahi, malah bisa jadi bahan pertengkaran orangtua," ucapnya.

Nilai-nilai semacam itu bebernya, sangat penting dipelihara. Dengan demikian, paparan radikalisme bisa dicegah dari orang-orang sekitar.

Apa yang dilontarkan Syafii dan Atun itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan FKPT di Mataram. Dimana segmen diskusi yang dilibatkan terutama dari kalangan perempuan.

Dalam kesempatan itu, FKPT juga menghadirkan Tumini, salah seorang korban kasus Bom Bali I. Perempuan yang dipenuhi liluka di sekujur tubuhnya ini memberikan testimoni bagaimana mengerikannya peristiwa pengeboman tersebut.

Kepada peserta yang hadir, Tumini bercerita, ia tengah berada di lokasi kala kejadian. Saat itu, ia masih menjadi salah satu staf Paradise Club dan sebagai bartender.

Ia mengenang, ketika bom meledak, ia berupaya melarikan diri dalam kondisi tubuh terbakar dan dipenuhi luka. (jl)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menjadikan Perempuan Agen Perdamaian

Terkini

Iklan