Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
(Sisi Penting Keteladanan Dalam Mengelola Sikap Paternalistik Masyarakat Sasak)
Mas Ebiet GAD betutur dalam lirik lagu ayah. “Di matanya masih tesimpan selaksa peristiwa. Benturan dan hempasan terpahat di keningnya. Dia tampak tua dan lelah. Keringat kerap kali mengucur deras. Namun dia tetap tabah. Nafasnyapun kadang tersengal. Memikul beban yang makin sarat. Namun begitu, dia tetap bertahan. Dia telah mengerti hitam dan merah jalan ini. Keriput tulang pipinya, gambaran perjuangan. Bahunya yang dahulu kekar, legam terbakar matahari. Akhirnya baya tiba dan ia kurus terbungkuk. Namun semangat tak pernah pudar. Meski langkahnya kadang gemetar. Dia tetap setia.”
Tutur mas Ebiet kini massif dan tak urung mengusung rasa tersanjung di busung dada para ayah. Tak urung pula rasa tersanjung ini memacu selera mereka mencoba menjadi sosok ayah ideal. Tidak sedikit yang terjangkit bahkan bangkit melangit. Tuturan dalam lirik lagu ayah akhirnya betransformasi menjadi tradisi. Tentu kita boleh meyakini bahwa tradisi ini berpeluang diwarisi para pewaris “ayah”turun-temurun.
Ilustrasi terkonstruksinya tradisi dari lirik lagu ayah milik Mas Ebied meyakinkan kita tentang eksistensi kebiasaan pribadi (personal habits) para panutan yang berpeluang memengaruhi komunitasnya. Ilustrasi di atas mengingatkan bahwa personal habits akan menjadi menu dalam life together (kehidupan bersama). Ketika menjadi pilihan, ia dinikmati. Jika mengundang selera, ia kembali dinikmati berulang kali. Akhirnya kepuasan karena rasa menjadi cerita viral, bak tutur tinular. Penikmat melonjak meningkat berlipat. Mereka sepakat tanpa berdebat menyatakan: “hebat dan benar-benar nikmat!” Dalam area ini, personal habits mendapat penerimaan. Ketika personal habits diterima, ia berpeluang menjadi mainstream. Manakala telah tampil sempurna sebagai mainstream, personal habits telah bermetamorfosis menjadi “tradisi.” Dengan wujudnya sebagai tradisi, ia akan menjadi penanda, bahkan pegangan yang tidak mustahil mendapat kehormatan sebagai salah satu hard core yang diperjuangkan hinga berdarah-darah.
Sebagai awal garis pertumbuhan atau genealogi tradisi, mempertontonkan personal habits ternyata memiliki koneksitas kuat dengan sebuah perubahan. Dalam konteks ini, secara sosiologis maupun antropologis, personal habits adalah menu research program untuk mengkonstruksi sebuah system, baik evolusi maupun revolusi sosial dan budaya. Dengan demikian maka secara sosiologis ataupun antropologis, personal habits menjadi embrio dinamika sosial dan life style.
Adalah hal yang tidak berlebihan jika anasir di atas diposisikan sebagai rambu-rambu dalam mempertontonkan personal habits. Paling tidak, muatannya dapat menjadi peringatan dini agar tidak terjadi keterlanjuran mementaskan kebiasaan pribadi (personal habits) yang akhirnya nanti membidani anomaly-anomaly. Misalnya seperti cinema dalam makna eksplisit teks peribahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Selain sulit dibongkar, pentas personal habits yang menjadi sebab merebaknya anomaly, pasti akan men-trigger kegamangan sosial.
Sisi penting peringatan dini atau rambu-rambu pementasan personal habits yang paling pokok adalah adanya kepentingan mengelola lazimnya dominasi sikap paternalistic. Tidak dapat dibayangkan, jika pribadi panutan mempertontonkan personal habits. Tentu sejumlah follower akan dengan cepat dan massif mencoba cita-rasa personal habits tersebut. Akhirnya tradisi-tradisi baru segera lahir. Fakta ini bisa jadi sebagai strength dan bisa pula menjadi weakness. Tentu tergantung pada kecenderungan personal habits.
Sebagai komunitas ketimuran, masyarakat Sasak juga memiliki kekentalan sikap paternalistic. Bahkan, sikap ini tidak jarang diaduk-aduk dengan fanatisme yang berasa. Sangat beruntung masyarakat Sasak memiliki sebuah peringatan dini dalam mengelola kecenderungan sikap paternalistic. Kekayaan yang menguntungkan tersebut adalah sebuah sesenggak atau kalimat bijak yang menguraikan: “Embe lain ulu, to lain elong.” Kalau dialih bahasakan akan setara dengan “ke mana kepala bergerak, ke arah itulah ekor bergerak mengarak.” Sedangkan bila ditafsirkan secara singkat akan senada dengan sebuah peringatan atau tausiyah yang menegaskan: “Panutan adalah cermin bagi pengikutnya.”
Adanya sebuah kearifan lokal sebagai peringatan dini tidak menolak fakta dan fenomena falsification pemosisian produk sikap paternalistik dan fanatisme masyarakat Sasak. Justeru ada semacam kegalauan, diantaranya: Pertama, mengapa keberadaan peringatan dini kurang efektif mengelola paternalistic dan fanatisme masyarakat sasak yang cenderung membangun ruang-ruang ultimate concer? Kedua, mengapa keberadaan peringatan dini di atas kurang mampu atau tampak tidak sepadan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat Sasak yang dibuktikan dengan adanya fakta dan gejala pemosisian produk paternalistik dan fanatisme setara dengan dengan “suara-suara langit.”
Kalau kegalauan akibat persoalan efektivitas peringatan dini di atas tidak tertawarkan, tentu saja berisiko, jika tidak boleh dikatakan riskan. Apalagi kegalauan itu dikorelasikan dengan kemurnian religious life. Pernahkah kita bayangkan, kalau terjadi perang kepentingan antara ultimate concer bentukan dua sikap di atas dengan “suara-suara langit.” Bagaimana jadinya kalau ultimate concer bentukan sikap paternalistic dan fanatisme dimenangkan? Benturan-benturan tentu akan terjadi. Kekacauan (chaos) akan hadir dan menggelisahkan. Penistaan agama atau pembunuhan budaya sangat mungkin pula hadir sebagai resiko terpatal.
Tentu sekali kita semua tidak menginginkan terjadinya benturan, kekacauan, penistaan agama, dan pembunuhan budaya, sebagai akibat pensejajaran agama, budaya, dan tradisi. Oleh sebab itu, kiranya kita memerlukan pemahaman untuk mendudukkan keduanya secara tepat dan proporsional. Teks-teks agama tetap berada pada hard core. Sedangkan kreatifitas dalam bentuk tradisi atau budaya menempati orbit sabuk pengaman atau protective belt yang terbuka untuk diuji dan diskusikan.
Secara kasuistis, pemosisian agama, budaya, dan tradisi dengan tepat dan proporsional akan ter-support bila masyarakat Sasak memahami peringatan dini sesenggak “Embe lain ulu to lain elong.” Dalam perspektif semiotika, pada sesenggak “Embe lain ulu to lain elong” terdapat dua symbol utama, yaitu ulu (kepala) dan elong (ekor). Simbol ulu adalah elemen hard core yang mutlak atau absolute. Sementara itu, symbol elong adalah lingkaran pengaman bagi elemen hard core yang bersifat fleksible dan terbuka untuk dikoreksi.
Ulu atau kepala yang menjadi simbol hard core diisi oleh wahyu Tuhan dan uswah Rasul. Dalam Islam, wilayah hard core menjadi space untuk al-Qur’an dan al-hadits. Dua muatan hard core ini adalah petunjuk. Jika diabaikan, maka manusia berkelindan dalam kesesatan. Pernyataan ini senada dengan sabda Rasulullah SAW, “Kutinggalkan untuk kalian dua waisan. Jika kalian berpegang teguh pada warisan tersebut, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Warisan yang sedemikian itu adalah al-Qur’an dan sunnah-sunnahku.”
Sementara itu, elong atau ekor yang menjadi symbol lingkaran pengaman bagi elemen hard core atau yang disebut oleh Lakatos sebagai positive heuristic, diisi oleh hasil kreatifitas dan daya akal manusia. Dalam konteks masyarakat Sasak, ruang positive heuristic atau lingkaran pengaman ini ditempati oleh tradisi, budaya, dan segala kearifan local Sasak yang ada. Misalnya saja, adat-istiadat pernikahan, tata cara selametan atau tasyakkuran, ragam seni atau karya-karya sebagai ekspresi peradaban, hukum adat, gagasan arsitektur, pemilihan bahasa sebagai alat komunikasi, baik pendidikan, ataupun pergaulan yang bersifat lebih luas, dan lain-lain.
Elong atau ekor sebagai symbol lingkaran pengaman mestinya sebangun dengan muatan hard core. Dengan adanya kesebagunan maka kepentingan yang tarik-menarik dapat dihindari. Dalam memenuhi tuntutan keniscayaan adanya kesebangunan, maka seluruh embrio pembentuk lingkar pengaman, seperti personal habit dan tradisi harus menjadikan hard core sebagai frame of refrence. Artinya, tidak ada satu embrio yang tidak didialogkan dengan hard core. Kalau ada yang tidak didialogkan maka akan hadir tradisi yang justeru bukan lingkar pengaman, tetapi kepungan yang mengancam. Contoh sederhana kasus embrio yang lolos dari proses dialog dengan hard core: 1). Arak-arakan adat nyongkolan (nyondol) atau bejango yang tidak jarang dilengkapi dengan aksesoris “meneguk air api.” 2). Ruwah belek yang secara mencolok berpihak pada kecenderungan mengikuti hawa nafsu, dan lain-lain.
Selain makna akademik “embe lain ulu, to lain elong” di atas, penulis juga tertarik dengan makna kulturalnya. Di samping senada, konsisto, koheren, dan berkorespondensi, makna cultural “embe lain ulu, to lain elong” memiliki sebuah penegasan yang penting. Tidak hanya pada embrio tradisi dan budaya, tetapi pada sosok panutan sebagai pelaku atau subjek yang mempertontonkan personal habits. Dalam sesenggak “embe lain ulu, to lain elong,” sosok panutan digiring untuk berhati-hati mementaskan personal habits-nya. Sekiranya kontra-produktif dengan hard core, personal habits itu hendaknya dihapuskan atau setidak-tidak dilakukan dengan sangat tertutup. Dengan cara ini, personal habits yang kontra-produktif tidak meniliki ruang untuk berkembang menjadi tradisi yang berada berhadapan dengan positive heuristic, apalagi hard core. Akhirnya, penulis dan tentu kita semua berharap, moga dengan memahami sesenggak “embe lain ulu, to lain elong” secara seksama, kita bisa lebih teliti memilih sekaligus mementaskan personal habits sebagai langkah awal mengelola sikap paternalistik maupun fanatisme ummat. Wallohua'lamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.