Iklan

terkini

NYEMBALI

Jejak Lombok
Tuesday, February 16, 2021, Tuesday, February 16, 2021 WIB Last Updated 2021-02-16T02:42:31Z

Menakar Tesis Clifford Geertz  Tentang Santri, Abangan, dan Priyayi dengan Nalar Sasak dalam Muatan Fenomena Peluang Transformasi Varian Keberagamaan Sebuah  Keluarga

Dr. Jamiluddin, M.Pd

Mendiang Clifford Geertz mengundang  gereget  expert diberbagai bidang. Produk risetnya menyisakan kegalauan akademik yang benar-benar menggoda. Tidak hanya bagi pakar sosiologi agama, tetapi membakar nyaris seluruh pakar dibidang kajian sosial, politik, dan keagamaan. Mereka rata-rata berhasrat membongkar problem riset Geertz yang cukup mengakar. Dapat dipastikan, hasrat yang begitu kuat ini disebabkan karena problem riset yang ditinggalkan Geertz berkenaan dengan masalah keberagamaan yang selalu seksi di Indonesia.  

Dalam “Relegion of Jawa,” Clifford Geertz menemukan trikotomi varian keragamaan, yaitu santri, abangan, dan priyayi. Bagi Geertz, santri adalah orang atau kelompok yang memiliki ketaatan yang kuat dalam beragama. Abangan sendiri ia pandang sebagai orang atau kelompok yang longgar dalam hal  keberagamaan. Sementara itu, Geertz berasumsi bahwa Priyayi adalah golongan ningrat atau bangsawan yang kurang taat beragama.

Lebih jauh lagi Clifford Geertz merumuskan sebuah tesis bahwa latar belakang seseorang atau komunitas akan menentukan kategori varian keberagamaannya. Keluarga santri akan melahirkan santri. Demikian pula abangan dan priyayi akan membidani  generasi abangan dan priyayi. Tesis ini benar-benar senada dengan beberapa adagium seperti: 1). “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”  2). “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimpahan jua.” 3). Sesenggak Sasak, yang menyatakan “ Mbe bae laik aik ngelek.”.  

Terhadap tesis Geertz, beberapa orang pakar beseloroh, “tidakkah Geertz abai terhadap perilaku kelelawar yang bisa saja menerbangkan buah jauh dari pohon di mana ia memetik. Dia juga dituding tak cermat memprediksi bahwa teknologi rancang bangun akan dapat mendesain alian air cucuran atap sedemikian rupa hingga tidak jatuh ke pendirisan.  Artinya, para pakar berpendapat bahwa Geertz kurang memberi ruang pada faktor tertentu yang dapat menghadirkan sesuatu yang berbeda dari simplan yang ia peroleh. 

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagaimana pemberitaan Republika pada tanggal 10 Oktober 2002 di halaman 10 memberikan kritik tegas terhadap tesis Geertz. Lembaga pengkajian itu menyebutkan bahwa varian santri, abangan, dan priyayi yang dismaksudkan Geertz tidak lagi tampak di masyarakat. Lebih lanjut ditegaskan oleh lembaga tersebut bahwa kenyataan mutakhir mrnunjukkan latar belakang seseoang  tidak menentukan sikap keber-Islamannya.

Apakah temuan  Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta  di atas berarti telah meruntuhkan tesis Clifford Geertz?  Beberapa orang ahli berpendapat bahwa sebelum menjawab soal runtuh atau tidaknya tesis Geertz, sangat arif jika terlebih dulu kita mendalami bagunan teori yang diajukannya. Dengan cara inilah kita lebih mudah memahami tesis Geertz sekaligus memberikan statusnya, apakah telah terbantah oleh temuan PPIM UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta  atau tidak?

Geertz dalam risetnya memasukkan hubungan   pola kerja dengan keberislaman seseorang. Dia menggunakan tiga pusat mobilitas sosial yang diasumsikan berhubungan langsung dengan keberislaman seseorang atau pun masyarakat. Ketiga pusat mobilitas sosial tersebut, adalah pedesaan, pusat birokasi, dan pasar.  Dalam teorinya, Geertz mengasumsikan ketiga pusat mobilitas sosial itu, sebagai berikut: 

1). Pedesaan adalah area mobilitas sosial para petani dan buruh tani yang dominan berstatus sosial ekonomi pas-pasan, bahkan di bawah garis kemiskinan. Dalam keadaan ekonomi yang dominan memperihatinkan ini, petani atau orang-orang pedesaan akan mengentas persoalan pertaniannya dengan cara-cara yang menunjukkan kecenderungan mengusung singkretisme sebagaimana kaum abangan. Misal, jika mereka panen atau menghadapi hama, para petani akan berusaha mengatasinya dengan upacara tertentu.  Sedangkan beberapa orang atau kelompok tani yang kaya, jika menghadapi persoalan akan mengkonfirmasi masalahnya dengan standar teknologi pertanian. Artinya, Geertz memandang petani kaya akan lebih steril dari singkretisme atau dalam bahasa yang eksttrim, mereka jauh dari praktek sebagaimana kaum abangan.

2). Zona pasar dan atau perkotaan dihuni oleh pedagang, buruh, pengusaha, dan petani kaya serta priyayi di beberapa komplek elite.  Bagi para pedagang dan buruh disekitar pasar, rel kereta, dan daerah kumuh, cenderung miskin. Perilaku mereka cenderung sama seperti petani miskin di pedesaan. Mereka sering menyerahkan persoalan kepada  orang pintar atau paranormal sebagai broker atau perantara dalam pengentasan masalah, utamanya dengan menempuh jalan gaib. Sementara itu pengusaha kaya akan lebih rasional dan keberislamannya lebih cenderung layaknya seperti perilaku santri.

3). Di kantor atau sekretariat para birokrat juga demikian adanya. Komunitasnya bestatus sosial ekonomi di atas rata-rata. Kondisi mereka yang supportable ini diasumsikan memicu mereka untuk lebih beperilaku santri. Status sosial ekonomi yang mapan, mempermudah mereka untuk berzakat dan menunaikan ibadah haji, serta bersedekah jariyah. 

Bangunan teori Geertz di atas ternyata tidak cukup untuk menafikan kritik-kritik tehadap tesisnya. Selain PPIM UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hanya Bahtiyar,  Prof. Dr. Susilo Soemarjan, Nurkholis Majid, dan beberapa pakar angkat bicara. Ada beberapa kritik menarik yang penulis break-down dari beberapa orang tokoh akademisi di atas, yaitu: 

1). Geertz dipandang gagal menjelaskan vaiabel penelitiannya. Prof. Dr. Hanya Bahtiyar mempertanyakan, “ Apakah Geertz tengah meneliti komplek-kompleks-kepercayaan dan ritual keagamaan terentu atau  kepecayaan dan ritual keagamaan serta kategori-kategori tertentu dalam masyarakat? Menyoal hal ini menurut Hanya Bahtiyar penting karena pandangan tentang status keagamaan seseorang menurut orang yang berbeda sangatlah bersifat relatif, bahkan cenderung tidak sama.

2). Geerttz dipandang tidak komprehensif membedakan antara adat dan agama Hal ini berbahaya karena akan menimbulkan penafsian yang keliru terhadap fenomena dan fakta empiris tertentu, termasuk soal perilaku keberislaman dan adat-istiadat.

3). Dalam hal terminology priyayi, Geertz tidak tuntas mengurainya. Dia tidak menjelaskan tentang bagaimana staus priyayi itu diperoleh seseorang. Artinya tidak ada uraian yang rinci tentang 1). Apakah seseorang memperoleh status priyayi sebagai penghargaan lembaga adat karena hasil kerja keras dan prestasi luar biasa? 2). Apakah seseorang memperoleh status priyayi karena factor keturunan. 3). Apakah seseorang memperoleh status priyayi karena factor pernikahan? Dan seteusnya. Penjelasan tentang poses menjadi priyayi ini sangat penting dalam riset Geertz untuk menganalisis keberislaman.

4. Dalam buku “Tradisi Pesantren”  Zamakhsyari’ Dhofier, Geertz dijelaskan memandang Islam terlalu sempit, yaitu soal kematian, alam kubur, dan ganjaran. Artinya, Islam tidak “sholihu likulli zamanin wamakanin.” Pandangan ini tentu akan menjadi preposisi yang mengganggu generalisasi terkait, santri, abangan, dan priyayi. 

Kritik-kritik akademisi di atas ternyata menguat karena tanggapan senada dari beberapa elemen cultural di bebeapa daerah. Salah satunya adalah nalar Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat. Nalar Sasak dimaksud disebut “nyembali.” Nalar Sasak ini memuat nilai dan ajaran tentang fenomana  pertentangan sifat, sikap,, dan perilaku, satu orang atau lebih dengan kebiasaan keluarga atau komunitasnya.

“Nyembali” seringkali digunakan oleh internal dan eksternal keluarga maupun komunitas untuk memberi status kepada seseorang yang memiliki pertentangan sifat, sikap, dan perilaku, sebagaimana uraian di atas. Artinya, “nyembali” bukan hal subjektivitas, tetapi cenderung merupakan sebuah objektivitas. Jadi, “nyembali” ini meupakan elemen status sifat, sikap, atau pun perilaku yang kuat dan shahih.

Beberapa contoh empiris sifat, sikap, dan perilaku “nyembali” dalam keluarga atau komunitas adalah sebagai berikut: 1). Seseorang atau beberapa orang dalam keluarga maupun komunitas santri memperlihatkan perilaku abangan. Misalnya mereka senang dan kerap kali berwacana dan melakukan  ritual yang mengarah pada pencapaian kesaktian, pemujaan benda-benda yang dianggap bertuah, persembahan untuk mencapai cita-cita, dan lain sebagainya. 2). Seseorang atau beberapa orang dalam keluarga maupun komunitas abangan (minjem istilah Geertz) giat melakukan sebagaimana santri yang taat.  Misalnya rajin ibadah dan amal sosial menurut syari’at Islam.  

Sebagaimana para ahli psikologi, pertentangan sifat, sikap, dan perilaku, seseorang dengan keluarga dan komunitasnya dipandang oleh nalar Sasak sebagai sesuatu yang disebabkan karena beberapa hal, seperti habitual (kebiasaan), tradisi dan atau kultur lingkungan, proses belajar seseorang pada suatu lembaga pendidikan, belief atau aqidah yang menjadi pegangan hidup, dan tujuan atau ekspektasi terbesar yang ingin dicapai seseorang. 

Sebab-sebab Sifat, sikap, dan perilaku“nyembali” di atas tentu dipicu oleh faktor tertentu yang sangat berpengaruh. Salah satu faktor yang diyakini sangat berpengaruh tersebut adalah variabel peran keluarga dan lingkungan seseorang, seperti yang dijelaskan dalam HR Bukhori nomor 1293 pada kitab al-Jana’iz dan HR Muslim nomor 2658 dalam kitab al-Qadr.  Secara sepintas hadist ini seperti memperkuat tesis Geertz, namun sesungguhnya memberikan penegasan bahwa dalam fase post natal, generasi yang awalnya baik bisa menjadi memburuk karena kelalaian keluarga atau lingkungan. Demikian pula generasi yang awalnya buruk akan menjadi hebat berkat kecermatan keluarga atau lingkungan. 

Berdasarkan anasir di atas, maka untuk tidak menyatakan tesis Clifford Geertz terbantahkan, dapat dinyatakan bahwa tesis tersebut harus dicermati ulang dengan mengakomodasi beberapa premis yang diajukan, baik oleh para akademisi atau pun nalar Sasak Nyembali. Demikian uraian sederhana yang menurut penulis memang belum tuntas. Mudahan dilain waktu dapat penulis urai lebih lanjut. Wallohu’lamu.

* Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMAN 2 Selong.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • NYEMBALI

Terkini

Iklan