Iklan

terkini

BAHLA KOROT

Jejak Lombok
Sunday, September 20, 2020, Sunday, September 20, 2020 WIB Last Updated 2020-09-20T04:45:26Z

Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd 

(Dari Fenomena Sampai Kasus Endemi, Epidemi, dan Pandemi Dalam Tinjauan Nalar Klasik Masyarakat Sasak)

“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, ataukah alam mulai enggan bersahabat dengan kita.” Ebied GAD dalam lirik lagu di atas seperti dalam kungkungan sense of academic crisis yang mengusik pikiran dan perasaannya. Ebied GAD seolah sulit keluar membongkar soal-soal alam yang tampak rajin mengancam. 

Tidak sampai di situ saja, ia pun kemudian memburu rambu-rambu menghalau galau akibat blunder teka—teki, ”Kenapa di tanahku terjadi bencana?” Perburuannya tampak tak berujung. Akal sehatnya pun kemudian dipertaruhkan dengan opsi niscaya bertanya pada rumput yang bergoyang.

Sebagaimana Bang Ebied GAD, rerata kita tentu juga merasa. Selaksa peristiwa dan bencana berwacana dalam ruang rasa, pikir, raga, bahkan  X Spot yang berada pada bagian terdalam dari inner capacity. Tidak sedikit wacana-wacana yang bertajuk bencana menghadirkan clash. Tentu saja, tidak semua clash terkelola dengan baik dan semestinya. Pada segmen yang tidak terkelola tersebutlah kemudian cenderung terkonstruk imej buruk, termasuk kegalauan yang tidak jarang menyerang stabilitas trust hingga kita menjadi terpuruk.

Dalam situasi terpuruk, nothing is imphosible. Tidak sedikit di antara kita akan mempertanyakan keadilan-Nya. Banyak di antara kita yang mulai meragukan kesahihan nilai dan ajaran yang termuat dalam wilayah hard core. Yang paling riskan dalam pandangan akidah-alfalsafah adalah ketika kita terjebak dalam kubangan yang menyumbangkan keengganan bersahabat dengan Tuhan. Pada level ini, kita menjadi bagian orang-orang yang sesat karena sesungguhnya Alloh tidak memberikan hidayah kepada orang yang ingkar atau enggan bersahabat dekat dengan-Nya. (QS al-Maidah Ayat 67).

Dalam beberapa dekade hingga hari ini, di seluruh dunia, khususnya di tanah air kita Indonesia, bencana demi bencana menjadi sinema yang mengundang rasa merana dan air mata. Gempa bumi tak lagi tidur, namun mulai berangsur-angsur menegur, bahkan melebur hancur materi yang testruktur. Tsunami tak sungkan lagi membangun samudera instan di beberapa daratan. Kebakaran hutan pun menjadi sebuah kasus yang biasa. Banjir yang disusul longsor menelan korban saban waktu, bahkan dengan kalender yang tidak menentu. Semuanya sulit diprediksi. Ujungnya, angka korban seringkali pada statistic yang mengundang rasa bergidik. Narasi-narasi sedih nan pedih kemudian bermunculan. Misalnya saja, “Indonesia Menangis, Indonesia berduka, Ratapan Ibu Pertiwi,” dan lain-lain

Demikian juga halnya sejak Covid 19 dipublikasi secara resmi mewabah di Indonesia. Ibu Pertiwi kembali haru biru. Bagaimana tidak, tepatnya pada 2 Maret 2020, pandemi Covid 19 mulai melumpuhkan sendi-sendi kehidupan di tanah air. Kita bangsa indonesia mulai mengalami jadid atau perubahan luar biasa, kalau tidak boleh dikatakan mengalami revolusi. Pikiran, perasaan, dan perilaku secara mendadak dalam pengendalian. Tatanan dengan alasan keselamatan dirumuskan dan diberlakukan. Di banyak tempat dan area, pengendalian terkadang dijalankan dengan paksa. Memang debatable, tetapi lagi-lagi argumentasi maqoshidu al-Syar’iyah yang mengemuka atas nama mementingkan keselamatan jiwa men-trigger negara untuk memilih upaya mengendalikan mobilitas warga bangsa secara ekstra ketat. 

Walau telah melakukan pengendalian semisal PSBB (Pengendalian Sosial Berskala Besar), pandemi covid 19 dengan ganas dan tanpa ampun menjatuhkan korbannya. Sampai saat artikel ini ditulis, statistik korban mencapai angka yang sangat gamang. Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat merilis bahwa: di seluruh dunia, korban dalam perawatan sebanyak 7.414.726, korban sembuh sebanyak 22.359.976, dan korban yang meninggal sebanyak 957.156. Dengan demikian, total korban sebanyak 30.731.858 jiwa. Sementara di Indonesia, korban dalam perawatan sebanyak 56. 889, korban sembuh sebanyak 174.350, dan korban yang meninggal sebanyak 9.448. Dengan demikian, total korban sebanyak 240.687 jiwa. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, korban dalam perawatan sebanyak 476, korban sembuh sebanyak 2.421, dan korban yang meninggal sebanyak 182. Dengan demikian, total korban sebanyak 3.079 jiwa.

Data statistik korban Covid 19 menggambarkan betapa sebuah pandemi atau penularan penyakit yang mendunia, akibatnya tidak kalah mengerikan jika dibandingkan dengan bencana-bencana lainnya. Oleh sebab itu, kasus pandemi ini wajib dipahami secara seksama sebagai langkah yang strategis dalam menekan angka dampak yang ditimbulkan. Inilah alasan author menyususn artikel sederhana tentang fenomena dan kasus pandemi.

Memahami pandemi secara utuh tentu saja memiliki arti tersendiri. Salah satu arti yang cukup strategis adalah hadirnya kesiapan memutus mata rantai penyebaran sebuah penyakit menular sebelum mencapai level pandemik, epidemik, bahkan endemik. Jadi esensi memahami pandemik secara utuh meliputi pemahaman terhadap penyakit yang berpotensi menyebar dan menular secara meluas, sekaligus mengerti langkah-langkah efektif mencegah atau setidak-tidaknya membatasi wilayah penularannya.  

Para pakar seperti: Becker, Janz’, Hochbaum, Rosenstock, Kirscht, dan lain-lain telah membangun sebuah teori yang kemudian populer dengan sebutan HBM (Health Belief Model). Teori ini dihajatkan untuk menjawab kegagalan manusia dalam melakukan pencegahan atau pembatasan penyebaran sebuah penyakit.  HBM (Health Belief Model) yang pada intinya mendiskrepsikan atau menjelaskan  perilaku pencegahan penyakit, terdiri atas usaha membandingkan dan menganalisa dengan menggunakan ukuran sosio-psikologis. Ukuran dimaksud meliputi tingkat keyakinan (belief) seseorang terhadap kesehatan serta hal-hal yang mempengaruhimya. Bagi siapa pun, teori  HBM (Health Belief Model) ini akan dapat mengkonsolidasi kapasitasnya untuk memahami pandemi secara utuh.

Dalam teori HBM (Health Belief Model) dikembangkan beberapa ukuran yang membantu seseorang untuk melakukan deteksi dini secara seksama terhadap kemungkinan mewabahnya penyakit, temasuk pula potensi terjadinya endemik, epidemi, maupun pandemik. Adapun ukuran atau parameter tersebut terdiri atas: 1). Perasaan rentan terhadap penyakit (perceived susceptibility), 2). Tingkat keseriusan kondisi dan akibatnya (perceived severity), 3).Tingkat kepercayaan tehadap saran dan nasihat yang mengurangi resiko dari sebuah keadaan, (perceived benefits), 4). Tingkat keyakinan terhadap rintangan (perceived barier), 5). Tingkat keyakinan seseorang terhadap sebuah protokol atau pedoman tindakan (Cues to action), dan 6). Tingkat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya melakukan tindakan mencegah dan menyembuhkan penyakitnya (self efficacy). 

Indikator kemungkinan terjadinya penyebaran wabah penyakit di atas, sesungguhnya memiliki genealogi dasar dari keyakinan indibidu-individu yang diakumulasi dan kemudian digeneralisasi menjadi sebuah hipotesis, bahkan menjadi sebuah ketetapan status jenis penyakit serta penularannya. Semakin individu-individu merasa rentan, kondisi ketahanan buruk, educasi kurang, rintangan menguat, protocol kesehatan lemah, dan optimisme menjalani era new normal tidak supportable, maka semakin besar peluang terjadinya penyebaran wabah penyakit. Demikian pula sebaliknya.

Mencermati analisis di atas, peranti atau pisau bedah sekelas HBM (Health Belief Model) ini sangatlah urgen. Setidak-tidaknya, ia dapat dijadikan sebagai instrumen dalam riset program terkait endemik, epidemik, atau pandemik. Dengan strategi dan metode ini, data penyakit serta perilaku warga masyarakat sedini mungkin dapat diakses secara seksama sehingga tindakan pencegahan (preventive behavior) dapat dilaksanakan dengan tepat dan berhasil guna.   

Di lingkungan masyarakat Sasak, khususnya pada masa-masa yang lalu, deteksi dini soal jenis penyakit dan potensi penularannya ternyata mendapat perhatian yang serius. Sebagai buktinya, terminologi terkait endemik, epidemik, dan pandemik, serta penganannya, telah dikenal masyarakat Sasak sejak dahulu kala. Dalam nalar di lingkungan masyarakat Sasak, penularan meluas suatu penyakit dikenal dengan sebutan “Bahla Korot.” Sementara sistem penaganannya disebut oleh masyarakat Sasak dengan sebutan “Bendera Kuning.”

Bahla Korot terdiri atas dua kata, yaitu Bahla yang berarti musibah dan Korot yang berarti menelan korban yang banyak. Dengan demikian Bahla Korot  dapat diartikan setara dengan endemi, epidemi, atau pandemi, yaitu suatu penyakit yang mewabah secara meluas, baik lokal, wilayah, dan global yang menelan korban tidak sedikit.   Masyarakat Sasak di era yang lalu, berulang kali diuji dengan wabah yang menelan banyak korban. Beberapa wabah tersebut di antaranya, kolera, pes, sepolong (lepra/kusta) dan lebih terkanal dengan sebutan brong besi,  dan cacar. 

Dalam deteksi dini Bahla Korot, sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat Sasak melaksanakan sebuah sistem penanganan Bendera Kuning. Sistem tersebut dimulai dengan mengamati penularan sebuah penyakit di lingkungan keluarga. Jika ditemukan penularan yang cepat maka pemerintah dusun setempat memasang bendera kuning sebagai penanda bahwa di lokasi tersebut tengah terjadi penularan penyakit. Dengan pemberian isyarat tersebut, siapapun diharapkan tidak mendekati lokasi. Sementara itu, anggota keluarga di lokasi penularan diharapkan untuk mengurung diri (isolasi mandiri) sampai batas waktu yang dinyatakan aman untuk kembali bergaul bersama masyarakat luas.

Nalar masyarakat Sasak terhadap Bahla Korot sekaligus penanganannya dengan system Bendera Kuning senada dengan strategi yang diterapkan Khalifah Umar. Diriwayatkan bahwa: “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah. Suatu ketika Umar bin Khattab RA pergi ke Syam. Ketika di Saragih, ia mendengar bahwa di Syam sedang terjadi penularan penyakit. Menanggapi berita itu, Abdurrahman bin Auf memberikan penjelsan kepada Umar bin Khattab, bahwa Rasulullah SAW bersabda: jika kalian mengetahui wabah penyakit menular disuatu negeri, maka hendaklah kamu sekalian menahan diri untuk ke negeri tesebut. Sementara itu, bila kalian tengah berada di negeri yang sedang dilanda wabah, hendaklah kalian diam sampai wabah itu berakhir (Sahih Bukhori Muslim Nomor 4115.) Setelah Umar bin Khattab mendengar penjelasan itu, ia bersama rombongannya kembali pulang.

Dengan demikian maka nalar Sasak klasik dalam hal sikapnya terhadap endemi, epidemi, atau pandemi (Bahla Korot) sekaligus penagananya dengan sistem Bendera Kuning betul-betul diperkuat dengan sikap sabar, yakin. Ikhlas, dan istiqomah. Sebagai hamba-hamba yang beriman, tentu penguatan ini mengacu pada firman Alloh SWT pad QS al-Baqoroh Ayat 155 yang menegaskan: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kematian, rusaknya tetanaman dan buah-buahan. Oleh sebab itu bersabarlah karena jika engkau sabar, maka kabar gembira atau pertolongan akan segera aku berikan. 

Demikianlah kemuliaan dan keutamaan nalar klasik Sasak dalam hal menghadapi endemic, epidemic, atau pandemic (Bahla Korot). Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua, khususnya dalam menangani Pandemic Covid 19 saat ini. Wallohu’lamu.

*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMA N 2 Selong.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • BAHLA KOROT

Terkini

Iklan